Minggu, 30 Oktober 2016



BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Pengertian Haal

الْحَالُ وَصْفٌ فَضْلَةٌ مُنْتَصِبُ * مُفْهِمُ فِي حَالِ كَفَرْداً أَذْهَبْ
“Haal adalah washf (sifat) yang fadhlah (lebihan) lagi muntasabih (dinasabkan) dan memberi keterangan keadaan seperi dalam contoh: فَرْداً أَذْهَبُ (aku akan pergisendiri)”.[1]
Dengan istilah lain:

اَلْحَالُ هُوَ إِسْمٌ مَنْصُوْبٌ يُبَيْنُ هَيْئَةَ اْلفَاعِلِ أَوْ المفْعُوْلِ بِهِ حِيْنَ وُقُوْعِ الْفِعْلِ وَسُمَّي كَلٌّ مِنْهُمَا صَاحِبُ الحَالِ.
“Haal adalah isim yang dibaca nasab, yang menerangkan perihal atau perilaku Fa’il atau Maf’ul bih ketika perbuatan itu terjadi, dan masing-masing fa’il dan maf’ul bih tersebut dinamakan Shohibul Haal”.[2]
  •          Haal untuk menjelaskan Fa’il.
Contoh: جَاءَ زَيْدٌ رَاكِيْباً = zaid telah datang secara berkendaraan. Lafadرَاكِيْباً berkedudukaan sebagai Haal dari lafazh زَيْدٌ yang menjelaskan keadaan Zaid waktu kedatanganya. Seperti yang terdapat di dalam firman Allah Swt. Berikut: فَخرَجَ مِنْهَا خَائِفًا =  “Maka keluarlah Musa dari kota itu”. (Al-Qashash: 21) . Lafad خَائِفًا berkedudukan sebagaiHaal fa’il lafadz  خرَجَ yeng menjelaskan keadaan Musa waktu keluarnya.
  •          Haal untuk menjelaskan Maf’ul bih
Contoh: رَكِبْتُ اَلْفَرَسَ مُسَرَّجًا = Aku berkendara dengan berpelana.Lafadz مُسَرَّجًا berkedudukan sebagai haal dari maf’ul yang menjelaskan keadaan kuda waktu digunakan angkutan diatasnya. Dan seperti yang terdapat didalam firman Allah Swt. Berikut: وَاَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُوْلًا = “kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia.” (An-Nisa: 79). Lafadz رَسُوْلًا menjadi haal dari maf’ul bihhuruf kaf  yang terdapat pada lafadz  وَاَرْسَلْنَاكَ.
  •          Haal untuk menjelaskan kedua-duanya (fa’il dan Maf’ul bih).
Contoh: لَقِيتُ عَبْدَ اَللَّهِ رَاكِبًا = Aku Bertemu Abdullah dengan berkendaraan. Yang dimaksud dengan berkendaraan  itu bisa Aku atau Abdullah atau keduanya.[3]

2.1.1 Syarat-syarat Haal
   Ada beberapa syarat haal yang harus dipenuhi, diantaranya:
2.1.1.1 Isim nakirah
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali Nakirah. Apabila ada haal dengan lafadz ma’rifat, maka harus ditakwilkan dengan lafadznakirah, seperti dalam contoh:وَحْدَهْ   اَمَنْتُ بِالله(aku beriman kepada Allah). Kalimah وَحْدَهْ adalah isim ma’rifah secara lafazh, tetapi ia ditakwil oleh nakirah dengan perkiraan sebagai berikut: اَمَنْتُ بِالله مُنْفَرِداً.[4]
Dalam hal ini Ibnu Malik mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
وَالْحَالُ إِنْ عُرِّفَ لَفْظاً فَاعْتَقِدْ  *تَنْكِيْرَهُ مَعْنًى كَوَحْدَكَ اجْتَهِدْ
“Haal jika ma’rifah secara lafazh maka yakinilah bahwa ia berbentu nakirah secara makna, seperti conntoh: “wahdakajtahid” (lakukanlah ijtihad sendirian)”
Namun ulam’ bagdad dan Syaikh Yunus meyakini bahwa boleh membuat haal dari isim ma’rifah secara mutlak tanpa takwil,[5] seperti contoh:جَاءَ زَيْدٌ الرَاكِيْبَ

2.1.1.2 Sesudah kalimat yang sempurna
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali harus sesudah sempurnakalamnya, yakni sesudah jumlah (kalimat) yang sempurna, dengan makna bahwa lafadz haal itu tidak termasuk salah satu dari kedua bagian lafadz jumlah, tetapi tidak juga yang dimaksud bahwa keadaan kalam itu cukup dari haal (tidak membutuhkan haal) dengan berlandasan firman Allah Swt.: وَلَا تَمْشِ فِيْ الأَرْضِ مَرَحًا (dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi ini dengan sombong. (Al-Isra’: 37). [6]

2.1.1.3 Shahibul haal (pelaku haal) harus berupa ma’rifat
Shahibul haal (pelaku haal) harus dalam bentuk ma’rifat, dan pada galibnya (mayoritasnya) sekali-kali tidak dinakirahkan kecuali bila ada hal-hal yang memperbolehkanya yaitu:
a.         Hendaknya haal mendahului nakirah.
Contoh:  فِيْهَا قَائِمًا رَجُلٌ(didalamnya terdapat seorang laki-laki sedang berdiri).  lafadz قَائِمًا berkedudukan sebagai haal dari lafadz رَجُلٌ.

b.         Hendaknya nakirah ditakhshish oleh idhafah.
Contoh shahibul haal yang ditakhshish oleh idhafah ialah seperti yang terdapat didalam firman Allah Swt. Berikut: فِيْ اَرْبَعَةِ اَيَامٍ سَوَاءً (dalam empat hari yang genap.(Fushsilat: 10). Lafadz  سَوَاءًberkedudkan sebagai haal dari lafadz  اَرْبَعَةِ.

c.         Hendaknya shahibul haal nakirah sesudah nafi.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah nafi:
وَمَا اَهْلَكْنَا مِنْ قَرْيَةٍ اِلَّاَ لَهَا مُنْذِرُوْنَ (dan kami tidak membinasakan sesuatu negri pun, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi pringatan. (As-Syu’ara: 208). Lafadz لَهَا مُنْذِرُوْنَadalah jumlah ismiyyah yang berkedudkan sebagai haal dari lafadz قَرْيَةٍ, Keberadaannya sebagai haal dari shahibul haal yang nakirah dianggap sah karena ada huruf nafi yang mendahuluinya.[7]
Demikian juga haal disyaratkan harus berupa mutanaqqil yangmuystaq atau bukan jamid. Ibnu Malik juga mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
وَكَوْنُهُ مُنْتَقِلاً مُشْتَقَّا *  يَغْلِبُ لكِنْ لَيْسَ مُسْتَحِقّاً
Keadaan haal ini dalam bentuk muntanqqil lagi musytaq adalah hal yang lumrah, tetapi hal ini tidak pasti.”
         Yang dimaksud muntanqqil lagi musytaq adalah bahwa hal ini bersifat mayoritas, bukan bersifat lazim (tetap). Seperti dalam contoh:جَاءَ زَيْدٌ رَاكِيْباً = zaid telah datang secara berkendaraan. Lafadz رَاكِيْباًadalah sifat yang mutanaqqil karena sifat ini dapat lepas dari Zaid.[8]
         Namun, kadang haal itu dibentuk dari isim jamid yang ditakwil dengan sifat muystaq dalam tiga keadaan:
 a. Menunjukkan makna taysbih (penyerupaan), seperti: كَرَّ عَلِيٌ أَسَدًا(Ali       menyerang dengan berani seperti macan). Takwilanyaشُجَاعَا كَا الأَسَدِ :
b. Menunjukkan makna mufa’alah (interaksi), seperti: بِعْتُكَ اْلفَرَسَ يَدًا بِيَدٍ (aku telah menjual kuda secara kontan). Takwilanya: مُتَقَابِضَيْنِ
c.Menunjukkan makna tartib, seperti:  دَخَلَ القَوْمُ رَجُلًا رَجُلًا (kaum itu telah masuk secara tertib satu persatu). Takwilanya: مُتَرَتِّبَيْنِ.[9]
2.1.2   Macam-macam Haal
2.1.2.1 Haal berupa isim mufrad
Haal mufrod yaitu isim mansub yang disebutkan untuk menjelaskan keadaan fi’il atau maful bih. Contoh: جَاءَ زَيْدٌ رَاكِبًا (Telah datang zaid dalam keadaan berkendaraan). lafadz  رَاكِبًا adalah isim mufrad.

2.1.2.2 Haal berupa jumlah ismiyah
Contoh: حَضَرَ الضُيُوْفُ وَالمُضِيْفُ غَائِبٌ (para tamu datang, sedang tuan rumahnya tidak ada). Lafadz  المُضِيْفُ غَائِبٌ adalah jumlah ismiyah yang berkedudukan sebagai haal dari lafadz الضُيُوْفُ.

2.1.2.3 Haal berupa jumlah fi’liyah
Contoh: ذَهَبَ الجَانِي تَحْرُسُهُ الجُنُوْدُ  (penjahat itu pergi, ketika ia dijaga oleh tentara). Lafadz  تَحْرُسُهُ الجُنُوْدُ adalah jumlah fi’liyah yang berkedudukan sebagai haal dari lafadz الجَانِي.

2.1.2.4 Haal berupa zharaf
Contoh:   رَأَيْتُ الهِلَالَ بَيْنَ السَّحَابِ(aku telah melihat bulan diantara bulan). Lafadz بَيْنَ  adalah zharaf  yang berkedudukan sebagai haaldari lafadz الهِلَالَ.

2.1.2.5 Haal berupa jar dan majrur
Contoh: بِعْتُ الثَّمَرَ عَلَي شَجَرِهِ  (saya menjual buah yang masih ada di pohonya). Lafadz عَلَي شَجَرِهِ adalah jar dan majrur yang berkedudukan sebagai haal dari lafadz الثَّمَرَ.[10]

2.2 Pengertian isim manshub

Isim yang terkena I’rab Nashab disebut Isim Manshub. Yang menjadi Isim Manshub adalah semua Isim selain Fa’il atau Naib alFa’il dalam Jumlah Fi’liyyah.

2.2.1 MAF’UL ( مْفُعْول )َ
yakni Isim yang dikenai pekerjaan (Objek Penderita).contoh:
قرََأ مَحَّمٌد الْقرُْآَن = Muhammad membaca alQuran.
القرُْآَن (= alQuran) –> Maf’ul –> Manshub dengan tanda fathah.

2.2.2 MASHDAR ( مصَْدر )
       yakni Isim yang memiliki makna Fi’il dan berfungsi untuk menjelaskan atau menegaskan (menguatkan) arti dari Fi’il.contoh:
قرََأ مَحَّمٌد الْقرُْآَن ترَْتيِْلًا = Muhammad membaca alQuran dengan tartil(perlahanlahan)
ترَْتيِْلًا (= perlahanlahan) –> Mashdar –> Manshub dengan tanda fathah.

2.2.3 HAL ( حال )
       ialah Isim yang berfungsi untuk menjelaskan keadaan Fa’il atau Maf’ul ketika berlangsungnya pekerjaan.contoh:
قرََأ مَحَّمٌد الْقرُْآَن خاشًِعا = Muhammad membaca alQuran dengan khusyu’
خاشًِعا (= orang yang khusyu’) –> Hal –> Manshub dengan tanda fathah.

2.2.4 TAMYIZ ( تمَْييِْز )
       ialah Isim yang berfungsi menerangkan maksud dari Fi’il dalam hubungannya dengan keadaan Fa’il atau Maf’ul.contoh:
قرََأ مَحَّمٌد الْقرُْآَن عباََدةً = Muhammad membaca alQuran sebagai suatu ibadah عباََدةً (= ibadah) –> Tamyiz –> Manshub dengan tanda fathah.

2.2.5 ZHARAF ZAMAN ( ظَْرف زَمان ) atau Keterangan Waktu dan ZHARAF MAKAN  (ظَْرف مَكان ) atau Keterangan Tempat.
قرََأ مَحَّمٌد الْقرُْآَن ليَْلًا = Muhammad membaca alQuran pada suatu malam
ليَْلًا (= malam) –> Zharaf Zaman –> Manshub dengan tanda fathah.
Diantara Zharaf Zaman: يوََْم (=pada hari), الَْيوََْم (=pada hari ini), ليَْلًا (=pada malam hari), نهََاًرا (=pada siang hari), صَباًَحا (=pada pagi hari), مسَاًء (=pada sore hari), غًدا (=besok), اْلآَن (=sekarang),dan sebagainya.Diantara Zharaf Makan: أمََاَم (=di depan), خْلفَ (=di belakang), وَراَء (=di balik), فوَْقَ (=di atas), تحَْتَ (=di bawah), عْنَد (=di sisi), حْوَل (=di sekitar), بيََْن (=di antara), جانبَِ (=di sebelah), dan sebagainya.

2.2.6Mudhaf yang berfungsi sebagai MUNADA ( مناََدى )ُ atau Seruan/Panggilan.
رسُْوُل لِله (=Rasul Allah) adalah MudhafMudhaf Ilaih, bila berfungsi sebagai Munada, maka kata رسُْول (=Rasul) sebagai Mudhaf menjadi Manshub.
ياَ رسُْوَل لِله = Wahai Rasul Allah Sedangkan bila Munada itu adalah Isim Mufrad yang bukan merupakan MudhafMudhaf Ilaih, maka Isim tersebut tetap dalam bentuk Marfu’. Contoh: ياَ مَحَّمُد = Wahai Muhammad.

2.2.7 MUSTATSNA ( مسْتثَْنىَ ) atau Perkecualian ialah Isim yang terletak sesudah ISTITSNA ( اسِْتثِْنىَ ) atau Pengecuali.
Contoh: حَضََر الطُّلَّابُ إلَِّا زْيًدا = para siswa telah hadir kecuali Zaid إلَِّا (=kecuali) –> Istitsna (Pengecuali).
زْيًدا (=Zaid) –> Mustatsna (Perkecualian) –> Manshub dengan tanda Fathah
Katakata yang biasa menjadi Istitsna antara lain:
إلَِّاغْيَرسَِوىخلَاعَداحشَا
Semuanya biasa diterjemahkan: kecuali Isim yang berkedudukan sebagai Mustatsna tidak selalu harus Manshub. Mustatsna bisa menjadi Marfu’ dalam keadaan sebagai berikut:

a)      Bila berada dalam Kalimat Negatif dan Subjek yang dikecualikan darinya disebutkan. Maka Mustatsna boleh Manshub dan boleh Marfu’. Contoh: مَا قاََم الطُّلَّابُ إلَِّا زْيًدا = para siswa tidak berdiri kecuali Zaid
مَا قاََم الطُّلَّابُ إلَِّا زْيٌد = para siswa tidak berdiri kecuali Zaid
Kalimat di atas adalah Kalimat Negatif (ada kata: tidak) dan disebutkan Subjek yang dikecualikan darinya yaitu الطُّلَّابُ (=para siswa) maka Mustatsna boleh Manshub dan boleh pula Marfu’ ( زْيًدا atau .(َزْيٌد)

b)      Bila Mustatsna berada dalam kalimat Negatif dan Subjek yang dikecualikan darinya tidak
disebutkan sedangkan Mustatsna itu berkedudukan sebagai Fa’il maka ia harus mengikuti
kaidah I’rab yakni menjadi Marfu’. Contoh: مَا قاََم إلَِّا زْيٌد = tidak berdiri kecuali Zaid Mustatsna menjadi Marfu’ karena berkedudukan sebagai Fa’il ( زْيٌد )َ dan berada dalam Kalimat Negatif yang tidak disebutkan Subjek yang dikecualikan darinya.



2.3 Pengertian Khabar Kana
Khabar kana adalah setiap khabar bagi mubtada yang di masuki kana atau salah satu saudaranya.
Contoh:
كَانَ اْلمُعَلِّمُ حَاضِرًا (حاضرا : خبر كان منصوب بالفتحة)
أَصْبَحَ اْلعِلْمُ مُنْتَشِرًا (منتشرا: خبر أصبح منصوب بالفتحة)
ظَلَّ اْلقَضَاةُ عَادِلِيْنَ (عادلين : خبر ظل منصوب بالياء لأنه جمع مذكر سالم)

 2.3.1 Jenis-jenis khabar kana:
1- Isim dhahir sebagaimana pada contoh-contoh di atas
2- Syibhu jumlah (zharaf, jar dan majrur)
Contoh:
أَصْبَحَ الظِّلُّ فَوْقَ اْلأَزْهَارِ (فوق الأزهار: شبه جملة من ظرف ومضاف إليه خبر أصبح)
أَضْحَى السَّمَكُ فِي الشَّبَّكَةِ (في الشبكة : جار ومجرور خبر اضحى)

3- Jumlah Ismiah atau fi’liyah
Contoh:
كَانَ الشِّتَاءُ بَرْدُهُ شَدِيْدٌ (برده شديد : جملة اسمية خبر كان)
مَاانْفَكَ الْحَزِيْنُ يَبْكِى (يبكى : جملة فعلية خبر ماانفك)

Untuk pembahasan jumlah ismiyah dan fi’liyah secara terperinci akan di jelaskan pada postingan tentang kalimat dan posisinya pada I’rab.
Khabar kana boleh didahulukan pabila syibhu jumlah dan isim nya itu ma’rifah.
Contoh:
أَصْبَحَ فِيْ حيرةِ الكسلانُ والمهملُ (في حيرة: جار ومجرور خبر كان مقدم – الكسلان: اسم أصبح مؤخر – المهمل: معطوف على اسم أصبح)

Khabar kana wajib didahulukan apabila syibhu jumlah dan isim nya itu nakirah.
Contoh:
كان في الكوبِ ماءٌ. (في الكوب : خبر كان مقدم لأن اسمها ((ماء)) نكرة)

Sering juga kana dan isimnya itu dibuang dan yang ada hanya khabarnya saja, hal demikian jika terletak setelah ((إن ولو)).
Contoh:
قد قيل ماقيل وإن صدقًا وإن كذبًا (والتقدير إن كن المقول صدقا وإن كان المقول كذبا)
أريد منك وكلمةً واحدةً (والتقدير ولو كان الرد كلمة واحدة)

Catatan:
Apabila pada mubtada dan khabar itu masuk huruf naïf seperti (إن), (ما),(لا),(لات), maka sesungguhnya itu mereka beramala seperti amal laysa (ليس) (salah satu dari saudara kana) yaitu merafa’kan mubtada dan menashabkan khabar, dan hal yang demikian itu dengan syarat:

1.      Bahwa isim nya itu terletak sebelum khabarnya, dan makna nafyi (menyangkal ) tidak hilang dengan dimasuki illa (إلا)
Illa adalah salah satu kata yang digunakan sebagai pengecualian (استثنى)
Contoh:
مَا اْلحُصُوْنُ مُنِيْعَةً (ما : حرف النفي يعمل عمل ليس – الحصون: اسم ما مرفوع بالضمة – منيعة: خبر ما منصوب بالفتحة)

2.      Dan disyaratkan pada amal laa(لا) selain ketentuan di atas itu isimnya (لا) dan khabarnya (لا) dua-dua nya dalam bentuk nakirah.
Contoh:
لَا شَارِعٌ مُزْدَحَمًا (لا : حرف نفي يعمل عمل ليس – شارع اسم لا مرفوع بالضمة – مزدحما: خبر لا منصوب بالفتحة)

3.      Laata (لات)adalah la nafiyah yang ditambahkan padanya itu ta’ taknis maftuhah. Dan banyak pada lisan orang arab hanya menyebutkan khabarnya saja sedangkan isimnya itu di buang.
Contoh:
((لَاتَ سَاعَةَ ندم)) والتقدير لات الساعة ساعة ندم






BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Haal adalah washf (sifat) yang fadlah (lebihan) lagi muntasabih (dinasabkan) dan memberi keadaan keterangan.
2. Isim yang terkena I’rab Nashab disebut Isim Manshub. Yang menjadi Isim Manshub adalah semua Isim selain Fa’il atau Naib alFa’il dalam Jumlah Fi’liyyah.
3. Khabar kana adalah setiap khabar bagi mubtada yang di masuki kana atau salah satu saudaranya.
Berdasarkan diskusi yang kami lakukan,kami menyimpulkan bahwa dalam mempelajari bab hal,khabar kana dan isin manshub memerlukan pemahaman yang besar dalam nahwu dan bahasa arab sehingga bab ini tidak bisa dipelajari begitu saja oleh pemula.

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar