BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sholat
merupakan suatu kewajiban bagi tiap-tiap orang muslim dan tidak bisa diwakilkan
dalam mengerjakannnya. Hukumnya adalah fardu ‘ain yang artinya adalah kewajiban
bagi tiap-tiap orang muslim. Walaupun sholat adalah suatu kewajiban, tapi
ibadah sholat itu tidak memberatkan sama sekali. Bahkan dalam suatu ibadah
dikenal dengan nama rukhsah yang artinya adalah keringanan dalam
beribadah. Yang dimaksud keringan disini adalah keringanan yang terjadi karena
suatu sebab. Misal, dalam hal ibadah sholat. Sesulit apapun keadaannya jika
yang dinamakan kewajiban maka harus dilaksanakan. Sholatpun juga demikian,
walau kita tidak ada waktu untuk sholat seperti dalam keadaan bepergian pun
tetap diwajibkan untuk mengerjakan ibadah sholat.
Dalam hal
ini, sholat dalam dikerjakan dengan cara mengerjakan dalam satu waktu dan
sekaligus juga dapat diringkas jumlah rokaatnya. Sholat yang demikian ini
dinamakan sholat jamak qashar. Namun, sholat jamak qashar ini tidak hanya
dikerjakan sembarangan. Harus ada sebab-sebanya dan syaratnya. Uraian lebih
lanjut mengenai apa itu sholat jamak qashar dan bagaimana ulasannya akan
dibahas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu sholat musafir?
2. Bagaimana hukum mengqashar sholat?
3. Apa saja yang termasuk syarat Sah Sholat
Musafir?
4. Hal-hal apa saja yang membatalkan sholat
musafir?
5. Bagaimana cara menjamak dua sholat?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang sholat
musafir
2. Mengetahui bagaimana cara mengerjakan sholat
musafir yang benar
3. Menambah pengetahuan daan sekaligus sebagau
salah satu bahan diskusi
4. Untuk melengkapi tugas salah satu mata kuliah
Fiqih
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sholat Musafir
Orang yang bepergian diperbolehkan untuk meringkas shalat empat
rakaat menjadi dua rakaat. Shalat ini dinamakan shalat qashar. Selain
itu juga diperbolehkan untuk menjadikan satu waktu shalat, yaitu shalat dzuhur
dan ashar, serta shalat magrib dan isya’. Shalat ini dinamakan shalat jama’.
Sedangkan shalat sunnah tidak bisa diqashar dan tidak bisa dijama’, tapi
shalat magrib bisa dijama’ tapi tidak bisa diqashar. Shalat jama’ ada dua
macam, yaitu:
a. Shalat
dzuhur dan ashar dikerjakan pada waktu dzuhur atau sholat magrib dan isya’
dikerjakan pada waktu magrib. Hal itu dinamakan jama’ taqdim (mengumpulkan dua
shalat diwaktu awal)
b. Shalat
dzuhur dan ashar dikerjakan pada waktu ashar atau sholat magrib dan isya’
dikerjakan pada waktu isya’. Hal ini dinamakan jama’ takhir (mengumpulkan dua
sholat diakhir waktu)
Orang musafir boleh
bersholat sunah malam dan siang, mengqasharkan atau tidak mengqasharkan. Telah
terbukti oleh Rasulullah Saw bahwa beliau bershalat sunnah pada malam hari dan
beliau itu mengqasharkan. Diriwayatkan daripadanya, bahwa beliau bershalat dua
raka’at sebelum dzuhur sebagai orang musafir dan empat raka’at sebelum ashar.
Dan telah terbukti daripadanya, bahwa beliau mengerjakan shalat sunah delapan
raka’at sunat dhuha pada tahun pembukaan Makkah Ammul Fath.[1]
B. HUKUM MENGQASHAR SHALAT
Bagi seorang musafir disunnahkan untuk mengqashar (meringkas)
shalat, dan mengqashar itu sendiri lebih afdhal daripada mengerjakannya secara
sempurna. Hal tersebut sebagaimana firman Allah: “...maka tidaklah berdosa kamu
mengqashar shalat..” (QS. An-Nisa’: 101)
Perintah dalam ayat tersebut bertujuan untuk memberikan keringanan
bagi orang musafir dengan meringkas shalatnya. Dalam riwayat Aisyah juga
disebutkan:
“Bahwa
Nabi SAW ketika sedang musafir terkadang meringkas shalatnya dan terkadang
mengerjakannya dengan sempurna. Beliau juga terkadang berpuasa dan terkadang
tidak.”(HR. Daruquthni dengan rawi yang kuat)
Dalam riwayat lain juga
diceritakan bahwa suatu ketika para sahabat Rasulullah SAW sedang mengadakan
perjalanan, sebagian dari mereka ada yang meringkas shalatnya, dan sebagian
lagi mengerjakannya dengan sempurna. Sebagian mereka tidak mencela sebagian
yang lainnya karena hal itu. Ketika itu ‘Utsman dan ‘Aisyah termasuk yang
mengerjakan shalatnya dengan sempurna (HR. Muslim). Kecuali ulama Hanafiyah
yang mengatakan bahwa mengqashar shalat adalah wajib dan tidak boleh
mengerjakan shalat dengan sempurna ketika dalam perjalanan.
C. Syarat Sah Mengqashar Sholat
Untuk melaksanakan sholat
Qashar atau Jama’ ada beberapa hal yang harus dipenuhi sebagai berikut :[2]
1. Jarak tempuhnya harus lebih dari 16 farsakh
sekali jalan. Satu farsakh sama dengan 3 mil, sedangkan satu mil sama
dengan 6.000 hasta tangan atau kira-kira 80,540 km. Kecuali ulama Malikiyah
yang mengatakan bahwa sah mengqasar shalat ketika jarak tempuhnya
mencapai 65,764 km. Mereka mendasarkan pendapat pada riwayat: Dari ibnu
‘Abbas (dia berkata): “ janganlah kalian meringkas shalat jika jarak tempuh
perjalanan kalian kurang dari empat kali perjalanan dari Makah ke ‘Usfan.” (HR.
Baihaqi dengan sanad shahih dari perbuatan Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar. Satu
Barid sama dengan 4 farsakh).
Menurut ulama
Hanafiyah perjalanan yang menyebabkan bolehnya mengqasar shalat adalah
tergantung pada waktu tempuhnya, yaitu 3 marhalah pada hitungan hari
terpendek dalam setahun. Waktu tempuh tersebut ukuran jaraknya adalah kira-kira
85 km. Hal tersebut berdasarkan ayat: Dari Ibnu ‘Umar. Nabi SAW bersabda:
“Tidak halal seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan
perjalanan lebih dari tiga hari kecuali disertai oleh mahramnya.” (HR.
Bukhari)
Hadits tersebut
memberikan batasan lamanya masa perjalanan adalah tiga hari. Didalamnya juga
tidak disebutkan apakah tiga hari itu adalah tiga hari saja atau tiga hari tiga
malam. Oleh karena itu, meskipun dalam perjalanan itu dia berhenti dalam
sekejap-sekejap, maka sah baginya mengqashar shalat. Perjalanan tersebut
baik dilakukan dengan pesawat, mobil, dan kendaraan lainnya. [3]
2. Perjalanannya
memang diniatkan. Syarat niat bagi musafir ada dua yaitu:
a. Berniat
sejak awal untuk menempuh perjalanan sempurna. Oleh karena itu, jika dia keluar
tanpa mengetahui arah tujuan, maka tidak sah mengqashar sholat meskipun
perjalanannya telah mengelilingi bumi.
b. Mempunyai
hak untuk menentukan niatnya sendiri. Artinya tidak cukup niat yang dilakukan
oleh orang yang hanya mengikut, seperti seorang prajurit yang hanya mengikuti
komandannya dan seorang istri yang mengikuti suaminya. Oleh karena itu meskipun
seorang prajurit meniatkan perjalannya untuk dapat mengqashar sholat yang hal
itu tidak diniatkan oleh komandannya, maka prajurit tersebut tidak sah mengqashar
sholat.
3. Perjalanannya
adalah perjalanan yang diperbolehkan (mubah). Jika perjalannya untuk
mengerjakan maksiat, maka tidak sah baginya mengqashar sholat.
4. Melewati
batas kota, semacam bangunan atau kebun yang memisahkan antara kota yang
ditinggalkannnya dengan daerah tujuan. Hal ini berdasarkan riwayat : dari
Annas dia berkata: “Aku pernah sholat dzuhur bersama Rasulullah SAW di Madinah
empat roka’at dan kami mengerjakannya di Dzul Hulaifah dua roka’at.”(HR.
Jama’ah)
5. Sholatnya
tidak mengiringi (bermakmum kepada) orang muqim (yang tinggal tetap di
wilayah tersebut) atau orang musafir yang mengerjakan sholat secara sempurna.
Jika melakukan hal itu, maka wajib baginya mengerjakan sholat secara sempurna,
meskipun masuknya dalam jamaah bersama mereka ketika imam telah duduk tasyahud
akhir. Kecuali ulama ‘ulama Malikiyah, menurut mereka jika sholaynya bersama
imam tidak sempat memenuhi satu roka’at penuh maka boleh mengerjakan sholat
dengan diqashar. Adapun bagi seorang mukim, maka boleh mengikut pada imam seorang
musafir dan sang musafir tersebut harus memberitahukan kepadanya bahwa dia akan
mengqashar sholatnya. Setelah selesai bermakmum bersama musafir, orang mukim
tersebut berdiri lagi .
6. Dalam
setiap shalatnya meniatkan untuk mengqashar shalat. Kecuali ulama Malikiyah,
dalam pandangan mereka niatnya cukup dilakukan
pada shalat qashar yang pertama dan tidak wajib memperbaharui niat
tersebut sebagaimana niat puasa. Sebab
niat dalam puasa boleh dilakukan sekaligus pada awal malam bulan Ramadhan.
D.
HAL-HAL YANG MENGAKIBATKAN DILARANGNYA MENGQASHAR SHALAT
Hal-hal yang
menyebabkan mengqashar sholat dilarang adalah :[4]
1.
Niat melakukan qashar tersebut selama empat
hari, selain hari masuk keluarnya. Kecuali ulama hanafiyah, menurut mereka
boleh mengqashar sholat selama lima belas hari. Jika niat mengqasharnya lebih
dari itu, maka shalatnya setelah 15 hari tersebut harus dikerjakan secara
sempurna.mereka berpegang pada riwayat: Dari Ibnu ‘abbas , dia berkata: “Rasulullah
pernah tinggal di makkah selama 18 malam, beliau tidak shalat kecuali dua
raka’at. (HR.Bukhari). Dalam sebuah riwayat disebutkan 15 hari.
Adapun
orang yang tidak tau pasti kapan masa perjalanannya akan berakhir, seperti
orang yang sedang menunggu suatu kebutuhan dan dia tidak mengetahui kapan kebutuhan
tersebut akan terlaksana, sehingga dia mengatakan bahwa hari ini akan melakukan
perjalanan atau besok aku melakukan perjalanan. Bagi orang yang demikian itu
boleh mengqashar shalat meskipun
sampai dua tahun, dan baginya tidak ada ketentuan waktu lamanya dia boleh mengqashar shalat.
Demikian ini berdasarkan riwayat Jabir bin Abdulallah, dia berkata
:“Rasulullah pernah tinggal di Tabuk selama dua puluh hari sembari terus
mengqasar sholatnya.” (HR. Ahmad). Alwiswar bin Makrumah berkata: “Kami pernah
tinggal di salah satu desa di Syam selama empat puluh malam dan kami terkadang
mengqasar sholat dan terkadang kami menyempurnakan.” Nafi’ juga berkata: “Ibnu
‘ Umar pernah tinggal di Azerbaijan selama enam bulan dan dia mengerjakannya
dua raka’at.
2. Dilarang mengqashar sholat ketika sudah
kembali dari musafirnya. Hilangnya keringanan mengqashar shalat seiring dengan
tampaknya kota atau setibanya dibatas kota, yaitu tempat yang harus dilewati
ketika pertama kali melakukan perjalanan.
3. Niat kembali dari musafir sebelum
selesai perjalanan yang menyebabkan diperolehkannya mengqashar. Sehubungan
dengan syarat perjalanan yang diperbolehkan mengqashar shalat telah kami
sebutkan sebelumnya.
E. Seputar
Menjamak (menggabungkan) Dua Shalat:
Seorang boleh
menggabungkan sholat antara dhuhur, ashar, magrib dan isya’ baik jamak takdim
dan maupun takhir. Adapun sholat subuh maka wajib dikerjakan pada waktunya.
Diperbolehkannya menjamak sholat apabila berada pada keadaan berikut ini :
1. Menjama’nya ketika sedang berada di
araofah dan musdalifah dengan jamak takdim
2. Menjamaknya ketika dalam perjalanan,
dengan syarak sebagai berikut :
a. Perjalanannya adalah perjalanan yang
memenuhi syarat untuk diperbolehkan mengqasar sholat
b. Keduanya dikerjakan berturut-turut,
yaitu antara sholat satu dengan lainnya dikerjakan tanpa ada jeda waktu yang
panjang, lamanya sekira mengerjakan sholat dua roka’at yang ringan, kecuali
bahwa diberi keringanan selama bersuci, adzan, dan iqomah. Hal ini ketika
sholatnya adalah sholat jama’ takdim, sedangkan dalam jamak takhir maka tidak
berlaku ketentuan tersebut.[5]
c. Tertib diantara dua sholat, yaitu
memulai sholat yang awal terlebih dahulu sebelum melanjutkan kepada sholat
berikutnya
d. Niat menjama; sholat pada sholat yang
pertama
e. Perjalannnya terus menerus
3. Menjama’ sholat ketika dalam hujan
deras, turun salju dan cuaca sangat dingin. Dalam keadaan ini diperbolehkan
menjamak sholat dengan sharat sebagai berikut:
a. Sholat yanag dijama’ adalah sholat magrib
dan isya dan hanya dengan jamak takdim saja
b. Hujan dan halangan lainnya terjadi
ketika pada waktu sholat yang pertama
c. Sholatnya dilakukan dengan berjama’ah di
masjid
d. Imamnya meniatkan dirinya sebagai imam
dan sholat yang dilakukannya adalah sholat berjama’ah, sebab berjam’ah dalam
hal ini adalah syarat diperbolehkannya menjama’ sholat
e. Mengerjakan kedua sholat tersebut secara
beruntun, yaitu dengan tidak menyelingin antara sholat pertama dan kedua dengan
jeda waktu yang lama dan segera mengerjakan sholat pada waktu yang kedua
f. Mengerjakan sholatnya dengan
mendahulukan sholat yang pertama baru sholat yang kedua
4. Menjamak karena sedang sakit atau udzur
menurut ulama hanafiyah dan malikiyah. Menurut ulama malikiyah menjama’nya
hanyalah dalam bentuknya sajaa, yaitu mengakhirkan sholat yang pertama dan
mengawalkan sholat yang kedua sehingga kesannya seperti menyatu, tetapi
sebenarnya terpisah dan masing-masing sholat dikerjakan pada waktunnya.
Sebagimana pula ulama’ hanafiyah yang memperbolehkan menjama’ sholat ketika
sedang ada udzur, seperti orang yang sedang mengalami istihadoh, kencing terus
menerus dan sejenisnya. Juga bagi orang yang mengkhawatirkan keselamatan jiwa,
harta atau keturanannya. Juga bagi orang yang khawatir bila tidak menjama’
sholatnya, maka dia akan terjerumus pada perbuatan maksiat. Demikian pula
dengan wanta menyusui yang berat baginya untuk menyuci pakaian. Semua udzur
tersebut menurut ulama hanafiyah menyebabkan seseorang untuk menjamak
sholatnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sholat yang diperuntukkan bagi orang
bepergian dengan jarah minimal tiga mil disebut sebagai sholat musafir. Sholat
musafir ini ada dua macam yaitu sholat jamak dan sholat qashar. Sholat jamak
adalah menggabungkan dua sholat dalam satu waktu tanpa mengurangi jumlah
rokaatnya. Sedangkan sholat qashar adalah menggabungkan dua sholat dalam satu
waktu dengan menggurangi jumlah sholat yang rokaatnya empat menjadi dua rokaat.
Sholat jamak yang dikerjakan di awal waktu dinamakan sholat jamak taqdim,
sedangkan yang dikerejakan di akhir waktu dinamakan sholat jamak takhir.
Dalam mengerjakan sholat jamak maupun qashar
harus memperhatikan beberapa hal, seperti bagaimana syaratnya dan hal apa saja
yang dapat membatalkannya. beberapa syarat dalam mengerjakannya yaitu;
mengerjakan dengan niat di setiap qashar, niat untuk mengqashar. Perjalanan
yang dilakukan adalah untuk kebaikan, telah melewati batas kota dan sholatnya
tidak mengiringi orang mukim. Sedang salah satu hal yang dapat membatalkan
sholat qashar adalah niat kembali dari musafirnya sebelum menyelesaikan
perjalannnya. Intinya dalam melaksanakan sholat musafir harus memperhatikan
syarat dan hal-hal yang dapat membatalkannnya supaya sholat yang dilakukan
sesuai dengan syariat islam.
B. SARAN
Demikian yang dapat
kami tulis dalam proses penyusunan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat sebagai bahan referensi dan sebagai wawasan kita untuk mengetahui
bagaimana sholat musafir itu. Kritik dan saran sangat kami perlukan untuk
proses penyempurnaan makalah ini, utamanya dari Dosen Pengampu mata kuliah dan
dari teman-teman mahasiswa yang membacanya. Apabila ada kesalahan dalam
penulisan kami mohon maaf.
DAFTAR PUSTAKA
Arahbawi,
Abdul Qodir. 2011. Fikih Sholat Empat Madzhab.Jogjakarta:Hikam Pustaka.
Djaelani, H. A Timur dkk.
1983. Ilmu Fiqih.Jakarta: Asona.
El-
Majid, Alimin Koto. 2006. Tuntunan Safar.Jakarta:Sahara Publiser.
Kitab
Fasholatan
[1] Alimin Koto El-Majid,
Tuntunan Safar, (Jakarta:Sahara Publiser, 2006), hlm. 5.
[2] Abdul Qodir Ar-Rahbawi, Fikih Sholat Empat Madzhab,
(Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2011) hlm. 355.
[3] H. A Timur Djaelani, M. A dkk, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Asona,
1983) hlm. 185.
[4] Abdul Qodir
Ar-Rahbawi, Fikih Sholat Empat Madzhab, (Jogjakarta: Hikam Pustaka,
2011) hlm. 401.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar