Minggu, 30 Oktober 2016

fiqih



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Sholat merupakan suatu kewajiban bagi tiap-tiap orang muslim dan tidak bisa diwakilkan dalam mengerjakannnya. Hukumnya adalah fardu ‘ain yang artinya adalah kewajiban bagi tiap-tiap orang muslim. Walaupun sholat adalah suatu kewajiban, tapi ibadah sholat itu tidak memberatkan sama sekali. Bahkan dalam suatu ibadah dikenal dengan nama rukhsah yang artinya adalah keringanan dalam beribadah. Yang dimaksud keringan disini adalah keringanan yang terjadi karena suatu sebab. Misal, dalam hal ibadah sholat. Sesulit apapun keadaannya jika yang dinamakan kewajiban maka harus dilaksanakan. Sholatpun juga demikian, walau kita tidak ada waktu untuk sholat seperti dalam keadaan bepergian pun tetap diwajibkan untuk mengerjakan ibadah sholat.
Dalam hal ini, sholat dalam dikerjakan dengan cara mengerjakan dalam satu waktu dan sekaligus juga dapat diringkas jumlah rokaatnya. Sholat yang demikian ini dinamakan sholat jamak qashar. Namun, sholat jamak qashar ini tidak hanya dikerjakan sembarangan. Harus ada sebab-sebanya dan syaratnya. Uraian lebih lanjut mengenai apa itu sholat jamak qashar dan bagaimana ulasannya akan dibahas dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu sholat musafir?
2. Bagaimana hukum mengqashar sholat?
3. Apa saja yang termasuk syarat Sah Sholat Musafir?
4. Hal-hal apa saja yang membatalkan sholat musafir?
5. Bagaimana cara menjamak dua sholat?


C. Tujuan dan Manfaat
1. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang sholat musafir
2. Mengetahui bagaimana cara mengerjakan sholat musafir yang benar
3. Menambah pengetahuan daan sekaligus sebagau salah satu bahan diskusi
4. Untuk melengkapi tugas salah satu mata kuliah Fiqih


















BAB II
PEMBAHASAN

 
A. Pengertian Sholat Musafir
Orang yang bepergian diperbolehkan untuk meringkas shalat empat rakaat menjadi dua rakaat. Shalat ini dinamakan shalat qashar. Selain itu juga diperbolehkan untuk menjadikan satu waktu shalat, yaitu shalat dzuhur dan ashar, serta shalat magrib dan isya’. Shalat ini dinamakan shalat jama’. Sedangkan shalat sunnah tidak bisa diqashar dan tidak bisa dijama’, tapi shalat magrib bisa dijama’ tapi tidak bisa diqashar. Shalat jama’ ada dua macam, yaitu:
a.   Shalat dzuhur dan ashar dikerjakan pada waktu dzuhur atau sholat magrib dan isya’ dikerjakan pada waktu magrib. Hal itu dinamakan jama’ taqdim (mengumpulkan dua shalat diwaktu awal)
b.  Shalat dzuhur dan ashar dikerjakan pada waktu ashar atau sholat magrib dan isya’ dikerjakan pada waktu isya’. Hal ini dinamakan jama’ takhir (mengumpulkan dua sholat diakhir waktu)
Orang musafir boleh bersholat sunah malam dan siang, mengqasharkan atau tidak mengqasharkan. Telah terbukti oleh Rasulullah Saw bahwa beliau bershalat sunnah pada malam hari dan beliau itu mengqasharkan. Diriwayatkan daripadanya, bahwa beliau bershalat dua raka’at sebelum dzuhur sebagai orang musafir dan empat raka’at sebelum ashar. Dan telah terbukti daripadanya, bahwa beliau mengerjakan shalat sunah delapan raka’at sunat dhuha pada tahun pembukaan Makkah Ammul Fath.[1]

B. HUKUM MENGQASHAR SHALAT
Bagi seorang musafir disunnahkan untuk mengqashar (meringkas) shalat, dan mengqashar itu sendiri lebih afdhal daripada mengerjakannya secara sempurna. Hal tersebut sebagaimana firman Allah: “...maka tidaklah berdosa kamu mengqashar shalat..” (QS. An-Nisa’: 101)
Perintah dalam ayat tersebut bertujuan untuk memberikan keringanan bagi orang musafir dengan meringkas shalatnya. Dalam riwayat Aisyah juga disebutkan:
“Bahwa Nabi SAW ketika sedang musafir terkadang meringkas shalatnya dan terkadang mengerjakannya dengan sempurna. Beliau juga terkadang berpuasa dan terkadang tidak.”(HR. Daruquthni dengan rawi yang kuat)
Dalam riwayat lain juga diceritakan bahwa suatu ketika para sahabat Rasulullah SAW sedang mengadakan perjalanan, sebagian dari mereka ada yang meringkas shalatnya, dan sebagian lagi mengerjakannya dengan sempurna. Sebagian mereka tidak mencela sebagian yang lainnya karena hal itu. Ketika itu ‘Utsman dan ‘Aisyah termasuk yang mengerjakan shalatnya dengan sempurna (HR. Muslim). Kecuali ulama Hanafiyah yang mengatakan bahwa mengqashar shalat adalah wajib dan tidak boleh mengerjakan shalat dengan sempurna ketika dalam perjalanan.

C. Syarat Sah Mengqashar Sholat
Untuk melaksanakan sholat Qashar atau Jama’ ada beberapa hal yang harus dipenuhi sebagai berikut :[2]
1.         Jarak tempuhnya harus lebih dari 16 farsakh sekali jalan. Satu farsakh sama dengan 3 mil, sedangkan satu mil sama dengan 6.000 hasta tangan atau kira-kira 80,540 km. Kecuali ulama Malikiyah yang mengatakan bahwa sah mengqasar shalat ketika jarak tempuhnya mencapai 65,764 km. Mereka mendasarkan pendapat pada riwayat: Dari ibnu ‘Abbas (dia berkata): “ janganlah kalian meringkas shalat jika jarak tempuh perjalanan kalian kurang dari empat kali perjalanan dari Makah ke ‘Usfan.” (HR. Baihaqi dengan sanad shahih dari perbuatan Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar. Satu Barid sama dengan 4 farsakh).
Menurut ulama Hanafiyah perjalanan yang menyebabkan bolehnya mengqasar shalat adalah tergantung pada waktu tempuhnya, yaitu 3 marhalah pada hitungan hari terpendek dalam setahun. Waktu tempuh tersebut ukuran jaraknya adalah kira-kira 85 km. Hal tersebut berdasarkan ayat: Dari Ibnu ‘Umar. Nabi SAW bersabda: “Tidak halal seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan lebih dari tiga hari kecuali disertai oleh mahramnya.” (HR. Bukhari)
Hadits tersebut memberikan batasan lamanya masa perjalanan adalah tiga hari. Didalamnya juga tidak disebutkan apakah tiga hari itu adalah tiga hari saja atau tiga hari tiga malam. Oleh karena itu, meskipun dalam perjalanan itu dia berhenti dalam sekejap-sekejap, maka sah baginya mengqashar shalat. Perjalanan tersebut baik dilakukan dengan pesawat, mobil, dan kendaraan lainnya. [3]
2.      Perjalanannya memang diniatkan. Syarat niat bagi musafir ada dua yaitu:
a.       Berniat sejak awal untuk menempuh perjalanan sempurna. Oleh karena itu, jika dia keluar tanpa mengetahui arah tujuan, maka tidak sah mengqashar sholat meskipun perjalanannya telah mengelilingi bumi.
b.      Mempunyai hak untuk menentukan niatnya sendiri. Artinya tidak cukup niat yang dilakukan oleh orang yang hanya mengikut, seperti seorang prajurit yang hanya mengikuti komandannya dan seorang istri yang mengikuti suaminya. Oleh karena itu meskipun seorang prajurit meniatkan perjalannya untuk dapat mengqashar sholat yang hal itu tidak diniatkan oleh komandannya, maka prajurit tersebut tidak sah mengqashar sholat.
3.      Perjalanannya adalah perjalanan yang diperbolehkan (mubah). Jika perjalannya untuk mengerjakan maksiat, maka tidak sah baginya mengqashar sholat.
4.      Melewati batas kota, semacam bangunan atau kebun yang memisahkan antara kota yang ditinggalkannnya dengan daerah tujuan. Hal ini berdasarkan riwayat : dari Annas dia berkata: “Aku pernah sholat dzuhur bersama Rasulullah SAW di Madinah empat roka’at dan kami mengerjakannya di Dzul Hulaifah dua roka’at.”(HR. Jama’ah)
5.      Sholatnya tidak mengiringi (bermakmum kepada) orang muqim (yang tinggal tetap di wilayah tersebut) atau orang musafir yang mengerjakan sholat secara sempurna. Jika melakukan hal itu, maka wajib baginya mengerjakan sholat secara sempurna, meskipun masuknya dalam jamaah bersama mereka ketika imam telah duduk tasyahud akhir. Kecuali ulama ‘ulama Malikiyah, menurut mereka jika sholaynya bersama imam tidak sempat memenuhi satu roka’at penuh maka boleh mengerjakan sholat dengan diqashar. Adapun bagi seorang mukim, maka boleh mengikut pada imam seorang musafir dan sang musafir tersebut harus memberitahukan kepadanya bahwa dia akan mengqashar sholatnya. Setelah selesai bermakmum bersama musafir, orang mukim tersebut berdiri lagi .
6.      Dalam setiap shalatnya meniatkan untuk mengqashar shalat. Kecuali ulama Malikiyah, dalam pandangan mereka niatnya cukup dilakukan  pada shalat qashar yang pertama dan tidak wajib memperbaharui niat tersebut sebagaimana niat puasa.  Sebab niat dalam puasa boleh dilakukan sekaligus pada awal malam bulan Ramadhan.

D. HAL-HAL YANG MENGAKIBATKAN DILARANGNYA MENGQASHAR SHALAT
Hal-hal yang menyebabkan mengqashar sholat dilarang adalah :[4]
1.             Niat melakukan qashar tersebut selama empat hari, selain hari masuk keluarnya. Kecuali ulama hanafiyah, menurut mereka boleh mengqashar sholat selama lima belas hari. Jika niat mengqasharnya lebih dari itu, maka shalatnya setelah 15 hari tersebut harus dikerjakan secara sempurna.mereka berpegang pada riwayat:  Dari Ibnu ‘abbas , dia berkata: “Rasulullah pernah tinggal di makkah selama 18 malam, beliau tidak shalat kecuali dua raka’at. (HR.Bukhari). Dalam sebuah riwayat disebutkan 15 hari.
Adapun orang yang tidak tau pasti kapan masa perjalanannya akan berakhir, seperti orang yang sedang menunggu suatu kebutuhan dan dia tidak mengetahui kapan kebutuhan tersebut akan terlaksana, sehingga dia mengatakan bahwa hari ini akan melakukan perjalanan atau besok aku melakukan perjalanan. Bagi orang yang demikian itu boleh mengqashar shalat meskipun sampai dua tahun, dan baginya tidak ada ketentuan waktu lamanya dia boleh mengqashar shalat.
    Demikian ini berdasarkan riwayat Jabir bin Abdulallah, dia berkata :“Rasulullah pernah tinggal di Tabuk selama dua puluh hari sembari terus mengqasar sholatnya.” (HR. Ahmad). Alwiswar bin Makrumah berkata: “Kami pernah tinggal di salah satu desa di Syam selama empat puluh malam dan kami terkadang mengqasar sholat dan terkadang kami menyempurnakan.” Nafi’ juga berkata: “Ibnu ‘ Umar pernah tinggal di Azerbaijan selama enam bulan dan dia mengerjakannya dua raka’at.
2.    Dilarang mengqashar sholat ketika sudah kembali dari musafirnya. Hilangnya keringanan mengqashar shalat seiring dengan tampaknya kota atau setibanya dibatas kota, yaitu tempat yang harus dilewati ketika pertama kali melakukan perjalanan.
3.    Niat kembali dari musafir sebelum selesai perjalanan yang menyebabkan diperolehkannya mengqashar. Sehubungan dengan syarat perjalanan yang diperbolehkan mengqashar shalat telah kami sebutkan sebelumnya.

E. Seputar Menjamak (menggabungkan) Dua Shalat:
Seorang boleh menggabungkan sholat antara dhuhur, ashar, magrib dan isya’ baik jamak takdim dan maupun takhir. Adapun sholat subuh maka wajib dikerjakan pada waktunya. Diperbolehkannya menjamak sholat apabila berada pada keadaan berikut ini :
1.    Menjama’nya ketika sedang berada di araofah dan musdalifah dengan jamak takdim
2.    Menjamaknya ketika dalam perjalanan, dengan syarak sebagai berikut :
a.    Perjalanannya adalah perjalanan yang memenuhi syarat untuk diperbolehkan mengqasar sholat
b.    Keduanya dikerjakan berturut-turut, yaitu antara sholat satu dengan lainnya dikerjakan tanpa ada jeda waktu yang panjang, lamanya sekira mengerjakan sholat dua roka’at yang ringan, kecuali bahwa diberi keringanan selama bersuci, adzan, dan iqomah. Hal ini ketika sholatnya adalah sholat jama’ takdim, sedangkan dalam jamak takhir maka tidak berlaku ketentuan tersebut.[5]
c.    Tertib diantara dua sholat, yaitu memulai sholat yang awal terlebih dahulu sebelum melanjutkan kepada sholat berikutnya
d.   Niat menjama; sholat pada sholat yang pertama
e.    Perjalannnya terus menerus
3.    Menjama’ sholat ketika dalam hujan deras, turun salju dan cuaca sangat dingin. Dalam keadaan ini diperbolehkan menjamak sholat dengan sharat sebagai berikut:
a.    Sholat yanag dijama’ adalah sholat magrib dan isya dan hanya dengan jamak takdim saja
b.    Hujan dan halangan lainnya terjadi ketika pada waktu sholat yang pertama
c.    Sholatnya dilakukan dengan berjama’ah di masjid
d.   Imamnya meniatkan dirinya sebagai imam dan sholat yang dilakukannya adalah sholat berjama’ah, sebab berjam’ah dalam hal ini adalah syarat diperbolehkannya menjama’ sholat
e.    Mengerjakan kedua sholat tersebut secara beruntun, yaitu dengan tidak menyelingin antara sholat pertama dan kedua dengan jeda waktu yang lama dan segera mengerjakan sholat pada waktu yang kedua
f.     Mengerjakan sholatnya dengan mendahulukan sholat yang pertama baru sholat yang kedua
4.    Menjamak karena sedang sakit atau udzur menurut ulama hanafiyah dan malikiyah. Menurut ulama malikiyah menjama’nya hanyalah dalam bentuknya sajaa, yaitu mengakhirkan sholat yang pertama dan mengawalkan sholat yang kedua sehingga kesannya seperti menyatu, tetapi sebenarnya terpisah dan masing-masing sholat dikerjakan pada waktunnya. Sebagimana pula ulama’ hanafiyah yang memperbolehkan menjama’ sholat ketika sedang ada udzur, seperti orang yang sedang mengalami istihadoh, kencing terus menerus dan sejenisnya. Juga bagi orang yang mengkhawatirkan keselamatan jiwa, harta atau keturanannya. Juga bagi orang yang khawatir bila tidak menjama’ sholatnya, maka dia akan terjerumus pada perbuatan maksiat. Demikian pula dengan wanta menyusui yang berat baginya untuk menyuci pakaian. Semua udzur tersebut menurut ulama hanafiyah menyebabkan seseorang untuk menjamak sholatnya.
                                              





BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Sholat yang diperuntukkan bagi orang bepergian dengan jarah minimal tiga mil disebut sebagai sholat musafir. Sholat musafir ini ada dua macam yaitu sholat jamak dan sholat qashar. Sholat jamak adalah menggabungkan dua sholat dalam satu waktu tanpa mengurangi jumlah rokaatnya. Sedangkan sholat qashar adalah menggabungkan dua sholat dalam satu waktu dengan menggurangi jumlah sholat yang rokaatnya empat menjadi dua rokaat. Sholat jamak yang dikerjakan di awal waktu dinamakan sholat jamak taqdim, sedangkan yang dikerejakan di akhir waktu dinamakan sholat jamak takhir.
Dalam mengerjakan sholat jamak maupun qashar harus memperhatikan beberapa hal, seperti bagaimana syaratnya dan hal apa saja yang dapat membatalkannya. beberapa syarat dalam mengerjakannya yaitu; mengerjakan dengan niat di setiap qashar, niat untuk mengqashar. Perjalanan yang dilakukan adalah untuk kebaikan, telah melewati batas kota dan sholatnya tidak mengiringi orang mukim. Sedang salah satu hal yang dapat membatalkan sholat qashar adalah niat kembali dari musafirnya sebelum menyelesaikan perjalannnya. Intinya dalam melaksanakan sholat musafir harus memperhatikan syarat dan hal-hal yang dapat membatalkannnya supaya sholat yang dilakukan sesuai dengan syariat islam.
 B. SARAN
Demikian yang dapat kami tulis dalam proses penyusunan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat sebagai bahan referensi dan sebagai wawasan kita untuk mengetahui bagaimana sholat musafir itu. Kritik dan saran sangat kami perlukan untuk proses penyempurnaan makalah ini, utamanya dari Dosen Pengampu mata kuliah dan dari teman-teman mahasiswa yang membacanya. Apabila ada kesalahan dalam penulisan kami mohon maaf.


DAFTAR PUSTAKA



Arahbawi, Abdul Qodir. 2011. Fikih Sholat Empat Madzhab.Jogjakarta:Hikam Pustaka.
Djaelani, H. A Timur dkk. 1983. Ilmu Fiqih.Jakarta: Asona.
El- Majid, Alimin Koto. 2006. Tuntunan Safar.Jakarta:Sahara Publiser.
Kitab Fasholatan







[1] Alimin Koto El-Majid, Tuntunan Safar, (Jakarta:Sahara Publiser, 2006), hlm. 5.
[2] Abdul Qodir Ar-Rahbawi, Fikih Sholat Empat Madzhab, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2011) hlm. 355.

[3] H. A Timur Djaelani, M. A dkk, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Asona, 1983) hlm.  185.

[4] Abdul Qodir Ar-Rahbawi, Fikih Sholat Empat Madzhab, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2011) hlm. 401.

[5] Ibid, hlm. 388.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar