Minggu, 30 Oktober 2016



BAB II
PEMBAHASAN





A. Aliran Khawarij
1.         Sejarah perkembanngan khawarij
Munculnya aliran khawarij adalah setelah peristiwa tahkim, yatu sebagai upaya untuk menyelesaikan peperangan antara Ali bin Abi Thalib di satu pihak dengan Mu’awiyah di pihak lain. Peperangan kedua pihak itu terjadi disebabkan karena Mu’awiyah pada akhir 37 H, menolak mengakui kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib. Karena setelah itu AlinBin Abi Thalib memindahkan ibu kotanya ke al-Kuffah. Kemudian dia memecat gubernur yang telah diangkat oleh khalifah utsman bin affan germasuk salah seorang diantara mereka yang bernama Mu’awiyah Ibnu Abi Sofyan. Mu’awiyah merupakan gubernur dari Damaskus yang tergolong satu keturunan dengan Utsman Bin Affan yang tak dapat dipecat. Akibatnya Mu’awiyah bangun dan menonjilkan dirinya sebagai pembela kalihah Utsman Bin Affan yang mati terbunuh. Setelah adanya penolakan tersebut, Mu’awiyah segera menghimpun pasukannya untuk menghadapi kekuatan Ali sehingga pecahlah perang shiffin.[1]
Dalam peperangan ini tentara Ali di bawah pimpinan Malik al-Asytar hampir mencapai titik kemenangannya[2], yaitu tentara Ali dapat mendesak tentara Mu’awiyah. Dan melihat pasukannya terdesak mundur, ‘Amru bun Asy, panglima tertinggi pasukan Mu’awiyah memerintahkan pasukannya mengangkat tinggi-tinggi Al Qur’an denagn ujung tombak sambil berkata Al Qur’an yang akan menjadi hakim diantara kita. Marilah kita bertahkim dengan kitabullah. Kemudian Ali mendapat desakan dari pasukan-pasukannya untu menerima ajakan tersebut sehingga Ali tidak dapat berbuat apa-apa selain mengabulkanhya[3]. Dua orang perantara dalam tahkim adalah Abu Mus al Asy’ari dari pihak Ali dan Ibn al Asy dari pihak Mu’awiyah yang akan mengumumukan keputusan mereka pada tempat yang telah ditentukan yaitu di tengah antara syiria dan Irak.[4]
Banyak pasukan Ali yang tidak setuju dengan diadaknnya tahkim. Mereka menganggap bahwa orang yang mau berdamai ketuka berperang adalah orang yang ragu dalam pendiriannya dalam kebenaran peperangan yang ditegakkannya. Akhirnya mereka membenci Ali karena dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran sebagaimana mereka membenci Mu’awiyah karena telah melawan khalifah yang sah. Kaum inilah yang dinamakan khawarij, yang memisahkan diri dari Ali.[5]
Harun Nasution menyebutkan bahwa nama Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada meraka karena keluar dari barisan Ali.Kaum Khawarij kadang-kadang menamakan dirinya sebagai kaum Syurah, artinya kaum yang mengorbankan kepentingan dirinya untuk kepentingan keridhoan Allah[6], sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 207 yang artinya “dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhoan Allah, dan Allah maha penyantun kepada hamba-hambanya”.
Mereka juga disebut Haruriyah dari kata Harura yaitu nama desa yang terletak di dekat Kuffah dan Irak.[7] diitempat inilah mereka berkumpul dan memisahkan diri dari Ali yang berjumlah dua belas ribu orang dan memilih Abdulullah Ibnu Wahab Al Rasidi sebagai ganti dari Ali bin Abi Thalib.jadi, setelah menerima prinsip arbitrase yang merugikan pihak Ali, sebagian pengikut-pengikutnya keluar dari golongan Ali dan menamakan dirinya dengan golongan Khawarij yang merupakan sekte pertama yang lahir dalam islam. Mereka melakukan perlawanan terhadap Ali yang dipimpin oleh Abdulullah Ibn Wahab Al Rasyidi. Pada waktu Ali dalam perjalanan masjid ke Kuffah, dia ditikam oleh seoranng kaum khawarij yang bernama Abdulullah Ibn Muljam. Setelah Ali mati terbunuh dan Hasan bin Ali menyerahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyah dan Husein mati di padang Karbella, maka Khawarij tidak bertahan mundur, malah bertambah garang dalam melawan Mu’awiyah.
2.                  Pokok-Pokok Ajaran Khawarij
a)        Di bidang teologi
1)           Orang mukmin yang berbuat dosa besar (murtakib al-akba’in atau capital sinner) adalah kafir dan telah keluar dari islam dan wajib dibunuh. Karena itu khawarij mengartikan bahwa iman adalah amal shalih. Jadi seorang mukmin adalah orang yang melakukan amal shalih dan jika yang dilakukan amalan dosa besar, maka ia dipandang tidak beriman lagi, ia kafir, wajib dilaknat (dibunuh)
2)         Anak-anak orang kafir yang mati waktu kecil masuk neraka
3)         Ibadat termasuk rukum iman
b) Dalam bidang ketatanegaraan
Kaum khawarij lebih bersifat demokratis kaena syarat menjadi pemimpin umat (iman atau khalifah) tidah harus dari ahli bati Rosulullullah dan berbangsa Quraisy. Siapapun bisa asal disepakati bersama. Hanya saja ada syarat kepribadian, yakni harus seorang yang zuhud taaqwa, tidak pernah berbuat dosa besar dan kesalahan. Boleh mematuhi kepala ngara jika dia seorang yang dholim.
b)        Menurut Asy’ari yang dianggap kafir oleh Khawarij ialah. Ali, Utsman, yang ikut perang Jamal,dan pelaku tahkim dan yang membenarkan tahkim maka wajib meninggalkan dari penguasa yang dhalim.
3.        Sekte-sekte aliran khawarij
a)      Al-Muhakkimah
Golongan Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Sayyidina Ali, dan kelompok inilah disebut al- Khawarij al-Muhakkimah. Bagi mereka Sayyidina Ali, Muawiyah dan dua utusan di dua belah pihak, dan semua yang setuju atas arbitrase itu kafir. Hingga berlanjut hukum kafir ini, yang mereka luaskan maknanya sehingga termasuk kedalamnya tipe orang yang berbuat dosa besar adalah kafir.
Orang khawarij dari kelompok ini bernama Zulkhuwairisah dan yang kedua adalah Zultsadiyah. Mereka  juga yang menciptakan dua bid’ah yaitu: Pertama, tentang imamah yang menurutnya selain dari Qurayspun boleh menjadi pengganti setelah Nabi. Dan mereka yang diangkat adalah orang-orang yang adil dan jikalau melanggar wajib di bunuh. Kedua, Sayyidina Ali menurut mereka telah banyak melakukan kekeliruan.
b)      Al-Azariqah
Setelah golongan al-Muhakkimah hancur, muncullah golongan yang dapat menyusun barisan baru dan kuat lagi besar. Mereka berkuasa di diperbatasan Iraq dan Iran. Nama ini diambil dari Nafi’ ibn al-Azraq ( seorang pemberontak atas pemerintahan Sayyidina Ali) yang memilki pengikut 20 ribu orang.
Ajaran yang di ajarkan al-khawarij yang dipelpori oleh Abu Rayid Nafi’ ibn al-Azraq ini adalah : Pertama, mereka mengkafirkan Ali ibn Abi Thalib. Dalam hal ini juga mereka membenarkan tindakan Abdul Rahman ibn Muljam yang telah membunuh Sayyidina Ali. Kedua, berdasarkan prinsip ini Azariqah mengkafirkan Utsman, Thalhah, Zubair, Aisyah, Abdullah ibn Abbas, dan kaum muslimin yang tidak sependapat dengan mereka, adalah kafir dan pasti masuk neraka serta kekal didalamnya.
c)      An-Najadaat al-‘Aziriah
Kelompok ini adalah kelompok yang mengikuti pemikiran seorang yang bernama Najdah ibn Amir al-Hanafi yang dkenal sebagai Ashim yang menetap di Yaman. Najdah ibn amir al-Hanafi inilah sebagai tokoh dari kaum khawarij ini, yang kemudian melahirkan sebuah ajaran, bahwa ajaran agama itu ada dua yaitu: Pertama, mengenal Allah Swt, para Rasul, haram membunuh sesama muslim, mengikuti secara umum apa yang diturunkan Allah. Wajib setiap orang mengenalnya, dan kejahilan menurut mereka bukan sebagai landasan untuk tidak mau mengenalnya. Kedua, mereka juga mengatakan bahwa kemungkinan saja mujtahid itu tersalah alam menetapkan hukum sebelum adanya bukti yang kuat.
d)     Al-Baihasiah
Abu Baihas al-Haisyam ibn Jabir salah seorang dari suku Bani Saad Dhubai’ah, merupakan tokoh dalam kelompok ini sehingga dinamakan al-Baihasiah. Ia mengkafirkan Ibrahim dan Ma’mun dikarenakan berbeda pendapat dengannya tentang perjualan budak wanita.
Ia memaparkan sebuah ajaran bahwa seseorang belum dikatakan muslim kecuali ia telah mengenal Allah dengan yakin, mengenal Rasul, dan mengetahui apa yang dibawa para Rasul, kepemimpinan hanya ditangan Allah bukan ditangan orang yang menjadi musuh-musuh Allah. Dan sebagian besar dari kelompok ini mengatakan bahwa: ilmu pengetahuan dan perbuatan adalah iman. Dan adapun al-Baihas sendiri berkata bahwa:  Iman menurutnya adalah pengetahuan terhadap yang benar dan bathil, sedangkan pengetahuan bukan termasuk ucapan dan perbuatan, karena itu katanya “ iman adalah pengakuan hati dan pengetahuan bukan hanya salah satu dari keduanya”.
e)      Al-Ajaridah
Kelompok ini dipimpin oleh Abd al-Karim ‘Araj yang isi ajarannya sama mirip dengan ajara an-Najdiah. Ada yang mengatakan bahwa ia termasuk sahabat dekat Baihas. Menurut kelompok ini bahwa tidak boleh mengatakan kafir atau muslim kepada seorang anak muslim sampai usianya baligh. Sedangkan anak orang kafir bersama orang tuanya masuk kedalam neraka. Kelompok ini terbagi menjadi tiga kelompok yaitu: Pertama, ash-Shalthiah yang mengikuti ajaran-ajaran yang diajarkan Utsman ibn Abi Shalt, yang sependapat dengan apa yang dikatakan kelompok al-Jaridah tadi. Kedua, al-Maimuniyyah yang mengikuti ajaran Maimun ibn Khalid. Yang mempunyai pandangan ajaran bahwa  baik dan buruk itu berasal dari manusia
Ketiga, kelompok al-Hamziyyah yang berdasarkan ajaran hamzah ibn Adrak. Kelompok ini sependapat dengan al-Maimunah tentang qodar, namun berbeda pendapat dengan muslim atau kafir yang ditentukan pada seorang anak yang baru lahir.
f)       At-Tsa’alibah
Pendiri kelompok ini adalah Tsa’alibah ibn Amir, menurutnya tidak ada yang mengikat antara orang tua dengan anaknya, baik anak itu menjadi patuh terhadap agama atau tidak, sampai anak itu mencapai dewasa telah sampai dakwah agama padanya. Dan tentunya hal ini bertentangan dengan al-Jaridah, dan Tsa’alibah juga berkata bahwa jika seorang anak itu menerima ajaran agama maka ia muslim, jika sebaliknya maka ia kafir.
g)      Al-Ibadhiyah
Al-Ibadhiyah adalah kelompok yang dipimpin oleh orang yang bernama Abdullah ibn Ibadh yang memberontak terhadap pemerintaha khalifah Marwan ibn Muhammad.
Menurut kelompok ini Negara yang dihuni ummat Islam yang tidak sependapat dengan mereka masih dianggap negara berketuhanan, kecuali benteng kepala negara termasuk Daru al-Harbi. Dan orang yang melakukan dosa masih dianggap ahlu tauhid tetapi bukan mukmin. Mereka juga mengatakan bahwa semua hukum Allah itu berlaku umum, karena tidak diterangkan secara khusus kepada kelompok mana. Dan juga bahwa mukjizat yang ada pada Rasul bukanlah tanda kerasulan.
h)      As-Shufriyyah az-Ziyadiyyah
Kelompok ini dipelopori oleh orang yang bernama Zayad ibn Ashfar, yang mana pemikirannya berbeda dengan perkembangan pemkiran Khawarij yang lain.
Kelompok ini tidak mengkafirkan orang yang ikut perang selama masih seagama dan satu akidah. Mereka mengakui adanya hukum rajam, dalam peperangan tidak boleh membunuh anak orang musyrik dan tidak mengatakan anak orang musyrik kekal didalam neraka, menurut mereka taqiyah tidak diperbolehkan dalam perkataan tapi boleh dalam perbuatan. Tidak ada perbuatan yang dikategorikan dosa besar tanpa ada hukumannya seperti meninggalkan perang , shalat, dan orang yang seperti itu dikatakan kafir karena perbuatannya.
B. Aliran Murji’ah
1.      Sejarah kemunculan Murji’ah
Kata murji’ah berasal dari kata irja atau arja’a yang berarti penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a juga berarti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat dari Allah SWT. Selain itu, arja’a berarti pula meletakan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu, murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dengan Muawiyah serta pasukan masing-masing ke hari kiamat kelak.[8]
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sekretarianisme (terikat pada satu aliran saja), baik sebagai kelompok politik maupun teologis.
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan basis doktrin murji’ah, yang muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah sekitar tahun 695 dalam surat pendeknya yang berbunyi : “kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil yang pertama yang melibatkan Ustman, Ali, dan Zubair.” Dengan sikap politik ini, Hasan mencoba untuk menanggulangi perpecahan umat islam. Ia pun mengelak berdampingan dengan dengan kelompok syiah yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui kekhalifahan muawiyah.
Kaum khawarij dan syiah merupakan dua golongan yang muncul dari pecahan kelompok Ali. Dua golongan ini saling bermusuhan tetapi sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah dengan motif yang berlainan. Dalam pertentangan inilah muncul satu golongan baru yakni Murji’ah yang ingin bersikap netral dan tidak campur tangan dalam praktek kafir-mengkafirkan antara kedua golongan tersebut. Oleh karena itu, golongan ini tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya bersalah dan memandang lebih baik menunda (arja’a) penyeleseian  persoalan ini di hari perhitungan di depan Allah SWT.[9]
Murjiah tidak memusuhi muawiyah karena faham mereka menyatakan bahwa setiap dosa, betapa pun besarnya tidak membuat pelakunya keluar dari iman. Selama manusia beriman, ia tidak boleh dibunuh. Bagi mereka yang diutamakan dalam akidah adalah iman, masalah perbuatan dinomor duakan.[10]
Dengan demikian, kaum murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur tangan dalam pertentangan yang terjadi ketika itu, dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya seseorang kepada Allah SWT.
2.      Pokok-pokok Ajaran Murji’ah
Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu :
  1. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
  2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
  3. Meletakkan (pentingnya) iman daripada amal.
  4. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sementara itu, Abdul A’la al-Maududi menyebut ajaran Murji’ah dalam dua doktrin pokok, yaitu:
1.      Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardhukan dan melakukan dosa besar.
2.      Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madharat ataupun gangguan atas seseorang untuk mendapat pengampunan dari Allah SWT.



3.Sekte-sekte ajaran murji’ah
Golongan Murji’ah moderat disebut juga al murji’ah al-sunnah yang terdiri dari para fuqaha dan muhadditsin.[11] Mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukanya dan ada kemungkinan Allah SWT, akan mengampuni dosanya, sehingga tidak akan masuk neraka. Dengan demikian golongan ini masih mengakui pentingnya amal perbuatan manusia, meskipun bukan bagian dari iman. Yang termasuk dalam golongan ini diantaranya: Al-hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Tholib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadist.
Golongan Murji’ah ekstrem adalah mereka yang secara berlebihan melakukan pemisahan antara iman dan amal perbuatan. Mereka berlebihan dalam menjunjung tinggi iman, dan menganggap amal perbuatan tidak ada pengaruhnya terhadap iman. Iman hanya berkaitan dengan Tuhan dan hanya Tuhan yang mengetahuinya. Oleh karena itu, selama seseorang beriman dan mengakui adanya Tuhan, perbuatan apapun tidak merusak imanya sehingga tidak menyebabkan kafirnya seseorang. Yang termasuk dalam golongan ini diantaranya : [12]
a)      Golongan al-Jahmiyah yang dipelopori oleh Jahm Ibn Sofwan. Berpendapat bahwa iman adalah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT. Sebaliknya, kafir adalah tidak mempercayai hal-hal tersebut di atas. Apabila seseorang sudah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya hal-hal yang bertentangan dengan imannya, seperti berbuat dosa besar, menyembah berhala, dan minum minuman keras. Golongan ini juga meyakini bahwa surga  dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi Allah SWT semata.
b)      Golongan al-Salihiyah dengan tokohnya  Abu Hasan as-Sahili. Sama dengan pendapat al-Jahmiyah, golongan ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata makrifat (mengetahui) kepada Allah SWT, sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya yakni tidak mengetahui Allah SWT. Iman dan kufur itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Menurut mereka, shalat itu tidak merupakan ibadah kepada Tuhan, karena yang disebut ibadah itu adalah beriman kepada Tuhan dalam arti mengetahui Tuhan.
c)      Golongan Yunusiah pengikut Yunus Ibn an-Namiri. Berpendapat bahwa iman adalah totalitas dari pengetahuan tentang Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur. Kufur adalah kebalikan dari itu. Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak  percaya kepada Tuhan, melainkan karena ketaburannya. Mereka juga percaya bahwa perbuatan jahat dan maksiat sama sekali tidak merusak iman.
d)     Golongan al-Ubaidiyah dipelopori oleh Ubaid al-Maktaib. Pendapatnya pada dasarnya sama dengan golongan al-Yunusiah. Sekte ini berpendapat bahwa jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan beriman, semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak akan merugikannya. Perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit tidak akan memperbaiki posisi orang kafir.
e)      Golongan al-Gailaniyah dipelopori oleh Gailan al-Dimasyaqi. Berpendapat bahwa ima adalah makrifat (mengetahui) kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabbah (cinta) dan tunduk kepada-Nya.
f)       Golongan al-Saubaniyah dipimpin oleh Abu Sauban. Prinsip ajaranya sama dengan sekte al-Gailaniyah, namun mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Dengan demikian, sekte ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at.
g)      Golongan al-Marisiyah dipelopori oleh Bisyar al-Marisi. Berpendapat bahwa iman di samping meyakini dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-nya, juga harus diucapkan secara lisan. Jika tidak diyakini dalam hati dan diucapkan dengan lisan, maka bukan iman namanya. Sementara itu, kufur merupakan kebalikan dari iman.
h)      Golongan al-Karamiyah dipelopori oleh Muhammad Ibn Karram. Berpendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya seseorang dapat diketahui melalui pengakuannya secara lisan.
i)        Golongan al-Khassaniyah. Berpendapat jika seseorang mengatakan, “saya tahu bahwa Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, orang yang demikian tetap mukmin dan bukan kafir. Jika seseorang mengatakan, “saya tahu Tuhan mewajibakan naik haji ke Ka’bah tetapi saya tak tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain”, orang demikian juga tetap mukmin.

Menyikapi ajaran-ajaran Murji’ah yang ekstrim itu, menurut Harun Nasution ada bahayanya karena dapat membawa pada moral latitude, sikap memperlemah ikatan-ikatan moral atau masyarakat yang bersifat permissive (bersifat terbuka), masyarakat yang dapat mentolelir penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma akhlak yang berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma-norma akhlak bisa dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut faham demikian. Oleh karena itu, nama Murji’ah pada akhirnya mengandung arti tidak baik dan tidak disenangi oleh mayoritas umat islam.
























BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Khawarij merupakan golongan yang keluar dari kelompok Ali ibn Abi Thalib yang membuat barisan sendiri. Mereka mengkafirkna Sayyidina Ali dan Mu’awiyah dengan alasan bahwa mereka berdua tidak berpegang kepada hukum Allah. Sehinnga mereka dinilai sebagai pelaku dosa besar dan pelaku dosa besar tentunya darahnya halal. Dengan dasar inilah kemudian kelompok Khawarij berusaha untuk membunuh kedua orang tesebut.
Tidak lama setelah Khawarij muncul lagi golongan yang bernama Murji’ah, kelompok yang berusaha bersifat netral. Dengan menawarkan sebuah konsep penangguhan. Mereka menangguhkan amal dari iman. Jadi Sayyidina Ali dan Mu’awiyah tidak bisa diputusakn dengan hukum dunia, namun nanti di akhirat kelak.
Perbedaan yang sangat mendasar di anatara Khawarij dan Murji’ah adalah pada persoalan iman dan amal. Khawarij beranggapan bahwa amal merupakan bagian dari iman. Sedangkan Murji’ah beranggapan bahwa amal bukan bagian daripada iman. Dan tidak merusak imanan hanya karena amal seseorang.













[1] MunawirSjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta:UI Press,Cet.I,1990), hlm.27.
[2] A. Mu’in Umar, Sejarah dan Kebudayaan Islam Pada Masa Daulah Umaiyah (Yogyakarta:Gema IAIN), hlm.4.
[3] Abd. Jabbar,at.al, Teks Book, Dirasah Islamiyah, Pengantar Ilmu Tuhid dan Pemikiran Islam (Surabaya: CV. Anika Bahagia, 1995), hlm.55.
[4] .Encyclopedia of Islam, New Edition Vol. I, EJ. BrillLuxac & Co, Laiden, 1960, hlm. 384.
[5] Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah wal Jam’ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1971) hlm. 166.
[6] Sirajuddin Abbas, Op.Cit, hlm. 10.
[7] Harun Nasution, Op.Cit, hlm. 11.
[8] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, ilmu kalam, hlm.56

[9] Harun Nasution, Teologi islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 24

[10] Erwin Yuda Prahara, Materi Pendidikan Agama Islam (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009), hlm. 141

[11] Nurdin, M. Amin. 2011. Sejarah Pemikiran Islam (Jakarta: Teruna Grafika). hlm. 28 
[12] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, ilmu kalam, hlm.60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar