BAB II
PEMBAHASAN
A. Aliran Khawarij
1.
Sejarah perkembanngan khawarij
Munculnya aliran
khawarij adalah setelah peristiwa tahkim, yatu sebagai upaya untuk
menyelesaikan peperangan antara Ali bin Abi Thalib di satu pihak dengan
Mu’awiyah di pihak lain. Peperangan kedua pihak itu terjadi disebabkan karena
Mu’awiyah pada akhir 37 H, menolak mengakui kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib.
Karena setelah itu AlinBin Abi Thalib memindahkan ibu kotanya ke al-Kuffah.
Kemudian dia memecat gubernur yang telah diangkat oleh khalifah utsman bin
affan germasuk salah seorang diantara mereka yang bernama Mu’awiyah Ibnu Abi
Sofyan. Mu’awiyah merupakan gubernur dari Damaskus yang tergolong satu
keturunan dengan Utsman Bin Affan yang tak dapat dipecat. Akibatnya Mu’awiyah
bangun dan menonjilkan dirinya sebagai pembela kalihah Utsman Bin Affan yang
mati terbunuh. Setelah adanya penolakan tersebut, Mu’awiyah segera menghimpun
pasukannya untuk menghadapi kekuatan Ali sehingga pecahlah perang shiffin.[1]
Dalam peperangan ini
tentara Ali di bawah pimpinan Malik al-Asytar hampir mencapai titik
kemenangannya[2],
yaitu tentara Ali dapat mendesak tentara Mu’awiyah. Dan melihat pasukannya
terdesak mundur, ‘Amru bun Asy, panglima tertinggi pasukan Mu’awiyah
memerintahkan pasukannya mengangkat tinggi-tinggi Al Qur’an denagn ujung tombak
sambil berkata Al Qur’an yang akan menjadi hakim diantara kita. Marilah kita
bertahkim dengan kitabullah. Kemudian Ali mendapat desakan dari
pasukan-pasukannya untu menerima ajakan tersebut sehingga Ali tidak dapat berbuat
apa-apa selain mengabulkanhya[3]. Dua
orang perantara dalam tahkim adalah Abu Mus al Asy’ari dari pihak Ali dan Ibn
al Asy dari pihak Mu’awiyah yang akan mengumumukan keputusan mereka pada tempat
yang telah ditentukan yaitu di tengah antara syiria dan Irak.[4]
Banyak pasukan Ali
yang tidak setuju dengan diadaknnya tahkim. Mereka menganggap bahwa orang yang
mau berdamai ketuka berperang adalah orang yang ragu dalam pendiriannya dalam
kebenaran peperangan yang ditegakkannya. Akhirnya mereka membenci Ali karena
dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran sebagaimana mereka membenci Mu’awiyah
karena telah melawan khalifah yang sah. Kaum inilah yang dinamakan khawarij,
yang memisahkan diri dari Ali.[5]
Harun Nasution
menyebutkan bahwa nama Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar.
Nama itu diberikan kepada meraka karena keluar dari barisan Ali.Kaum Khawarij
kadang-kadang menamakan dirinya sebagai kaum Syurah, artinya kaum yang
mengorbankan kepentingan dirinya untuk kepentingan keridhoan Allah[6], sebagaimana
yang tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 207 yang artinya “dan diantara
manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhoan Allah, dan
Allah maha penyantun kepada hamba-hambanya”.
Mereka juga disebut
Haruriyah dari kata Harura yaitu nama desa yang terletak di dekat Kuffah dan
Irak.[7]
diitempat inilah mereka berkumpul dan memisahkan diri dari Ali yang berjumlah
dua belas ribu orang dan memilih Abdulullah Ibnu Wahab Al Rasidi sebagai ganti
dari Ali bin Abi Thalib.jadi, setelah menerima prinsip arbitrase yang merugikan
pihak Ali, sebagian pengikut-pengikutnya keluar dari golongan Ali dan menamakan
dirinya dengan golongan Khawarij yang merupakan sekte pertama yang lahir dalam
islam. Mereka melakukan perlawanan terhadap Ali yang dipimpin oleh Abdulullah
Ibn Wahab Al Rasyidi. Pada waktu Ali dalam perjalanan masjid ke Kuffah, dia
ditikam oleh seoranng kaum khawarij yang bernama Abdulullah Ibn Muljam. Setelah
Ali mati terbunuh dan Hasan bin Ali menyerahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyah
dan Husein mati di padang Karbella, maka Khawarij tidak bertahan mundur, malah
bertambah garang dalam melawan Mu’awiyah.
2.
Pokok-Pokok Ajaran Khawarij
a)
Di bidang teologi
1)
Orang mukmin yang berbuat dosa besar
(murtakib al-akba’in atau capital sinner) adalah kafir dan telah keluar
dari islam dan wajib dibunuh. Karena itu khawarij mengartikan bahwa iman adalah
amal shalih. Jadi seorang mukmin adalah orang yang melakukan amal shalih dan
jika yang dilakukan amalan dosa besar, maka ia dipandang tidak beriman lagi, ia
kafir, wajib dilaknat (dibunuh)
2)
Anak-anak orang kafir yang mati waktu kecil masuk neraka
3)
Ibadat termasuk rukum iman
b) Dalam bidang
ketatanegaraan
Kaum khawarij lebih
bersifat demokratis kaena syarat menjadi pemimpin umat (iman atau khalifah)
tidah harus dari ahli bati Rosulullullah dan berbangsa Quraisy. Siapapun bisa
asal disepakati bersama. Hanya saja ada syarat kepribadian, yakni harus seorang
yang zuhud taaqwa, tidak pernah berbuat dosa besar dan kesalahan. Boleh
mematuhi kepala ngara jika dia seorang yang dholim.
b)
Menurut Asy’ari yang dianggap kafir oleh Khawarij ialah. Ali, Utsman, yang
ikut perang Jamal,dan pelaku tahkim dan yang membenarkan tahkim maka wajib
meninggalkan dari penguasa yang dhalim.
3.
Sekte-sekte aliran khawarij
a)
Al-Muhakkimah
Golongan Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Sayyidina Ali,
dan kelompok inilah disebut al- Khawarij al-Muhakkimah. Bagi mereka Sayyidina Ali, Muawiyah dan dua utusan di dua
belah pihak, dan semua yang setuju atas arbitrase itu kafir. Hingga berlanjut
hukum kafir ini, yang mereka luaskan maknanya sehingga termasuk kedalamnya tipe
orang yang berbuat dosa besar adalah kafir.
Orang
khawarij dari kelompok ini bernama Zulkhuwairisah dan yang kedua adalah
Zultsadiyah. Mereka juga yang menciptakan dua bid’ah yaitu: Pertama,
tentang imamah yang menurutnya selain dari Qurayspun boleh menjadi pengganti
setelah Nabi. Dan mereka yang diangkat adalah orang-orang yang adil dan jikalau
melanggar wajib di bunuh. Kedua, Sayyidina Ali menurut mereka telah
banyak melakukan kekeliruan.
b)
Al-Azariqah
Setelah
golongan al-Muhakkimah hancur, muncullah golongan yang dapat menyusun barisan
baru dan kuat lagi besar. Mereka berkuasa di diperbatasan Iraq dan Iran. Nama
ini diambil dari Nafi’ ibn al-Azraq ( seorang pemberontak atas pemerintahan
Sayyidina Ali) yang memilki pengikut 20 ribu orang.
Ajaran yang
di ajarkan al-khawarij yang dipelpori oleh Abu Rayid Nafi’ ibn al-Azraq ini
adalah : Pertama, mereka
mengkafirkan Ali ibn Abi Thalib. Dalam hal ini juga mereka membenarkan tindakan
Abdul Rahman ibn Muljam yang telah membunuh Sayyidina Ali. Kedua, berdasarkan
prinsip ini Azariqah mengkafirkan Utsman, Thalhah, Zubair, Aisyah, Abdullah ibn
Abbas, dan kaum muslimin yang tidak sependapat dengan mereka, adalah kafir dan
pasti masuk neraka serta kekal didalamnya.
c)
An-Najadaat
al-‘Aziriah
Kelompok
ini adalah kelompok yang mengikuti pemikiran seorang yang bernama Najdah ibn
Amir al-Hanafi yang dkenal sebagai Ashim yang menetap di Yaman. Najdah ibn amir
al-Hanafi inilah sebagai tokoh dari kaum khawarij ini, yang kemudian melahirkan
sebuah ajaran, bahwa ajaran agama itu ada dua yaitu: Pertama, mengenal Allah Swt, para Rasul, haram membunuh sesama
muslim, mengikuti secara umum apa yang diturunkan Allah. Wajib setiap orang
mengenalnya, dan kejahilan menurut mereka bukan sebagai landasan untuk tidak
mau mengenalnya. Kedua, mereka juga mengatakan bahwa kemungkinan saja mujtahid
itu tersalah alam menetapkan hukum sebelum adanya bukti yang kuat.
d)
Al-Baihasiah
Abu
Baihas al-Haisyam ibn Jabir salah seorang dari suku Bani Saad Dhubai’ah,
merupakan tokoh dalam kelompok ini sehingga dinamakan al-Baihasiah. Ia
mengkafirkan Ibrahim dan Ma’mun dikarenakan berbeda pendapat dengannya tentang
perjualan budak wanita.
Ia
memaparkan sebuah ajaran bahwa seseorang belum dikatakan muslim kecuali ia
telah mengenal Allah dengan yakin, mengenal Rasul, dan mengetahui apa yang
dibawa para Rasul, kepemimpinan hanya ditangan Allah bukan ditangan orang yang
menjadi musuh-musuh Allah. Dan sebagian besar dari kelompok ini
mengatakan bahwa: ilmu pengetahuan dan perbuatan adalah iman. Dan adapun
al-Baihas sendiri berkata bahwa: Iman menurutnya adalah pengetahuan
terhadap yang benar dan bathil, sedangkan pengetahuan bukan termasuk ucapan dan
perbuatan, karena itu katanya “ iman adalah pengakuan hati dan pengetahuan
bukan hanya salah satu dari keduanya”.
e)
Al-Ajaridah
Kelompok
ini dipimpin oleh Abd al-Karim ‘Araj yang isi ajarannya sama mirip dengan ajara
an-Najdiah. Ada yang mengatakan bahwa ia termasuk sahabat dekat Baihas. Menurut
kelompok ini bahwa tidak boleh mengatakan kafir atau muslim kepada seorang anak
muslim sampai usianya baligh. Sedangkan anak orang kafir bersama orang tuanya
masuk kedalam neraka. Kelompok ini terbagi menjadi tiga
kelompok yaitu: Pertama, ash-Shalthiah yang mengikuti ajaran-ajaran yang
diajarkan Utsman ibn Abi Shalt, yang sependapat dengan apa yang dikatakan
kelompok al-Jaridah tadi. Kedua, al-Maimuniyyah yang mengikuti ajaran Maimun ibn Khalid.
Yang mempunyai pandangan ajaran bahwa baik dan buruk itu berasal dari
manusia
Ketiga, kelompok al-Hamziyyah yang berdasarkan ajaran hamzah ibn
Adrak. Kelompok ini sependapat dengan al-Maimunah tentang qodar, namun berbeda
pendapat dengan muslim atau kafir yang ditentukan pada seorang anak yang baru
lahir.
f)
At-Tsa’alibah
Pendiri
kelompok ini adalah Tsa’alibah ibn Amir, menurutnya tidak ada yang mengikat
antara orang tua dengan anaknya, baik anak itu menjadi patuh terhadap agama
atau tidak, sampai anak itu mencapai dewasa telah sampai dakwah agama padanya.
Dan tentunya hal ini bertentangan dengan al-Jaridah, dan Tsa’alibah juga
berkata bahwa jika seorang anak itu menerima ajaran agama maka ia muslim, jika
sebaliknya maka ia kafir.
g)
Al-Ibadhiyah
Al-Ibadhiyah
adalah kelompok yang dipimpin oleh orang yang bernama Abdullah ibn Ibadh yang
memberontak terhadap pemerintaha khalifah Marwan ibn Muhammad.
Menurut
kelompok ini Negara yang dihuni ummat Islam yang tidak sependapat dengan mereka
masih dianggap negara berketuhanan, kecuali benteng kepala negara termasuk Daru
al-Harbi. Dan orang yang melakukan dosa masih dianggap ahlu tauhid
tetapi bukan mukmin. Mereka juga mengatakan bahwa semua
hukum Allah itu berlaku umum, karena tidak diterangkan secara khusus kepada
kelompok mana. Dan juga bahwa mukjizat yang ada pada Rasul bukanlah tanda
kerasulan.
h)
As-Shufriyyah
az-Ziyadiyyah
Kelompok
ini dipelopori oleh orang yang bernama Zayad ibn Ashfar, yang mana pemikirannya
berbeda dengan perkembangan pemkiran Khawarij yang lain.
Kelompok ini
tidak mengkafirkan orang yang ikut perang selama masih seagama dan satu akidah.
Mereka mengakui adanya hukum rajam, dalam peperangan tidak boleh membunuh anak
orang musyrik dan tidak mengatakan anak orang musyrik kekal didalam neraka,
menurut mereka taqiyah tidak diperbolehkan dalam perkataan tapi boleh dalam
perbuatan. Tidak ada perbuatan yang dikategorikan dosa besar tanpa ada
hukumannya seperti meninggalkan perang , shalat, dan orang yang seperti itu
dikatakan kafir karena perbuatannya.
B. Aliran Murji’ah
1.
Sejarah
kemunculan Murji’ah
Kata murji’ah berasal dari kata irja atau arja’a yang
berarti penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a juga berarti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada
pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat dari Allah SWT.
Selain itu, arja’a berarti pula meletakan di belakang atau mengemudikan, yaitu
orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu, murji’ah artinya orang
yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dengan
Muawiyah serta pasukan masing-masing ke hari kiamat kelak.[8]
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul
Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan
oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam
ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari
sekretarianisme (terikat pada satu aliran saja), baik sebagai kelompok
politik maupun teologis.
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan basis doktrin murji’ah, yang muncul pertama
kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib,
Al hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah sekitar tahun 695 dalam surat pendeknya yang
berbunyi : “kita mengakui Abu Bakar dan
Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik
sipil yang pertama yang melibatkan Ustman, Ali, dan Zubair.” Dengan sikap politik ini, Hasan mencoba untuk menanggulangi
perpecahan umat islam. Ia pun mengelak berdampingan dengan dengan kelompok
syiah yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan
diri dari Khawarij yang menolak mengakui kekhalifahan muawiyah.
Kaum khawarij dan syiah merupakan dua golongan yang muncul
dari pecahan kelompok Ali. Dua golongan ini saling bermusuhan tetapi sama-sama
menentang kekuasaan Bani Umayyah dengan motif yang berlainan. Dalam
pertentangan inilah muncul satu golongan baru yakni Murji’ah yang ingin
bersikap netral dan tidak campur tangan dalam praktek kafir-mengkafirkan antara
kedua golongan tersebut. Oleh karena itu, golongan ini tidak mengeluarkan
pendapat tentang siapa yang sebenarnya bersalah dan memandang lebih baik
menunda (arja’a) penyeleseian persoalan ini di hari perhitungan di depan
Allah SWT.[9]
Murjiah tidak memusuhi muawiyah karena faham mereka
menyatakan bahwa setiap dosa, betapa pun besarnya tidak membuat pelakunya
keluar dari iman. Selama manusia
beriman, ia tidak boleh dibunuh. Bagi mereka yang diutamakan dalam akidah
adalah iman, masalah perbuatan dinomor duakan.[10]
Dengan
demikian, kaum murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut
campur tangan dalam pertentangan yang terjadi ketika itu, dan mengambil sikap
menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya seseorang kepada Allah
SWT.
2.
Pokok-pokok Ajaran Murji’ah
Harun Nasution menyebutkan
empat ajaran pokoknya, yaitu :
- Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
- Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
- Meletakkan (pentingnya) iman daripada amal.
- Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sementara
itu, Abdul A’la al-Maududi menyebut ajaran Murji’ah dalam dua doktrin pokok,
yaitu:
1.
Iman
adalah percaya kepada Allah dan Rasul-nya saja. Adapun amal atau perbuatan
tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini,
seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang
difardhukan dan melakukan dosa besar.
2.
Dasar
keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat
tidak dapat mendatangkan madharat ataupun gangguan atas seseorang untuk
mendapat pengampunan dari Allah SWT.
3.Sekte-sekte ajaran murji’ah
Golongan
Murji’ah moderat disebut juga al murji’ah al-sunnah yang terdiri dari para
fuqaha dan muhadditsin.[11] Mereka berpendapat bahwa
orang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan
dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukanya dan ada
kemungkinan Allah SWT, akan mengampuni dosanya, sehingga tidak akan masuk
neraka. Dengan demikian golongan ini masih mengakui pentingnya amal perbuatan
manusia, meskipun bukan bagian dari iman. Yang termasuk dalam golongan ini
diantaranya: Al-hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Tholib, Abu Hanifah, Abu
Yusuf, dan beberapa ahli hadist.
Golongan
Murji’ah ekstrem adalah mereka yang secara berlebihan melakukan pemisahan
antara iman dan amal perbuatan. Mereka berlebihan dalam menjunjung tinggi iman,
dan menganggap amal perbuatan tidak ada pengaruhnya terhadap iman. Iman hanya
berkaitan dengan Tuhan dan hanya Tuhan yang mengetahuinya. Oleh karena itu,
selama seseorang beriman dan mengakui adanya Tuhan, perbuatan apapun tidak
merusak imanya sehingga tidak menyebabkan kafirnya seseorang. Yang termasuk
dalam golongan ini diantaranya : [12]
a) Golongan
al-Jahmiyah yang dipelopori oleh Jahm Ibn Sofwan. Berpendapat bahwa iman adalah
mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang dari
Allah SWT. Sebaliknya, kafir adalah tidak mempercayai hal-hal tersebut di atas.
Apabila seseorang sudah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala
sesuatu yang datang dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan
dalam perbuatannya hal-hal yang bertentangan dengan imannya, seperti berbuat
dosa besar, menyembah berhala, dan minum minuman keras. Golongan ini juga
meyakini bahwa surga dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya
bagi Allah SWT semata.
b) Golongan
al-Salihiyah dengan tokohnya Abu Hasan as-Sahili. Sama dengan pendapat
al-Jahmiyah, golongan ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata makrifat
(mengetahui) kepada Allah SWT, sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya
yakni tidak mengetahui Allah SWT. Iman dan kufur itu tidak bertambah dan tidak
berkurang. Menurut mereka, shalat itu tidak merupakan ibadah kepada Tuhan,
karena yang disebut ibadah itu adalah beriman kepada Tuhan dalam arti
mengetahui Tuhan.
c) Golongan
Yunusiah pengikut Yunus Ibn an-Namiri. Berpendapat bahwa iman adalah totalitas
dari pengetahuan tentang Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur. Kufur
adalah kebalikan dari itu. Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak
percaya kepada Tuhan, melainkan karena ketaburannya. Mereka juga percaya bahwa
perbuatan jahat dan maksiat sama sekali tidak merusak iman.
d) Golongan
al-Ubaidiyah dipelopori oleh Ubaid al-Maktaib. Pendapatnya pada dasarnya sama
dengan golongan al-Yunusiah. Sekte ini berpendapat bahwa jika seseorang
meninggal dunia dalam keadaan beriman, semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak
akan merugikannya. Perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman.
Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit tidak akan memperbaiki posisi
orang kafir.
e) Golongan
al-Gailaniyah dipelopori oleh Gailan al-Dimasyaqi. Berpendapat bahwa ima adalah
makrifat (mengetahui) kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan
sikap mahabbah (cinta) dan tunduk kepada-Nya.
f) Golongan
al-Saubaniyah dipimpin oleh Abu Sauban. Prinsip ajaranya sama dengan sekte
al-Gailaniyah, namun mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah
mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Dengan
demikian, sekte ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui
akal sebelum datangnya syari’at.
g) Golongan
al-Marisiyah dipelopori oleh Bisyar al-Marisi. Berpendapat bahwa iman di
samping meyakini dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW
itu rasul-nya, juga harus diucapkan secara lisan. Jika tidak diyakini dalam
hati dan diucapkan dengan lisan, maka bukan iman namanya. Sementara itu, kufur
merupakan kebalikan dari iman.
h) Golongan
al-Karamiyah dipelopori oleh Muhammad Ibn Karram. Berpendapat bahwa iman adalah
pengakuan secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan
kafirnya seseorang dapat diketahui melalui pengakuannya secara lisan.
i)
Golongan al-Khassaniyah. Berpendapat
jika seseorang mengatakan, “saya tahu bahwa Tuhan melarang makan babi, tetapi
saya tak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, orang yang
demikian tetap mukmin dan bukan kafir. Jika seseorang mengatakan, “saya tahu
Tuhan mewajibakan naik haji ke Ka’bah tetapi saya tak tahu apakah Ka’bah di
India atau di tempat lain”, orang demikian juga tetap mukmin.
Menyikapi
ajaran-ajaran Murji’ah yang ekstrim itu, menurut Harun Nasution ada bahayanya
karena dapat membawa pada moral latitude, sikap memperlemah
ikatan-ikatan moral atau masyarakat yang bersifat permissive (bersifat terbuka), masyarakat yang dapat mentolelir penyimpangan-penyimpangan
dari norma-norma akhlak yang berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman,
norma-norma akhlak bisa dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang
yang menganut faham demikian. Oleh karena itu, nama Murji’ah pada akhirnya
mengandung arti tidak baik dan tidak disenangi oleh mayoritas umat islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Khawarij
merupakan golongan yang keluar dari kelompok Ali ibn Abi Thalib yang membuat
barisan sendiri. Mereka mengkafirkna Sayyidina Ali dan Mu’awiyah dengan alasan
bahwa mereka berdua tidak berpegang kepada hukum Allah. Sehinnga mereka dinilai
sebagai pelaku dosa besar dan pelaku dosa besar tentunya darahnya halal. Dengan
dasar inilah kemudian kelompok Khawarij berusaha untuk membunuh kedua orang
tesebut.
Tidak
lama setelah Khawarij muncul lagi golongan yang bernama Murji’ah, kelompok yang
berusaha bersifat netral. Dengan menawarkan sebuah konsep penangguhan. Mereka
menangguhkan amal dari iman. Jadi Sayyidina Ali dan Mu’awiyah tidak bisa
diputusakn dengan hukum dunia, namun nanti di akhirat kelak.
Perbedaan
yang sangat mendasar di anatara Khawarij dan Murji’ah adalah pada persoalan
iman dan amal. Khawarij beranggapan bahwa amal merupakan bagian dari iman.
Sedangkan Murji’ah beranggapan bahwa amal bukan bagian daripada iman. Dan tidak
merusak imanan hanya karena amal seseorang.
[2] A. Mu’in Umar, Sejarah
dan Kebudayaan Islam Pada Masa Daulah Umaiyah (Yogyakarta:Gema IAIN),
hlm.4.
[3] Abd. Jabbar,at.al, Teks
Book, Dirasah Islamiyah, Pengantar Ilmu Tuhid dan Pemikiran Islam (Surabaya:
CV. Anika Bahagia, 1995), hlm.55.
[9] Harun Nasution, Teologi
islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press,
1986), hlm. 24
[10] Erwin Yuda Prahara, Materi
Pendidikan Agama Islam (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009), hlm. 141
Tidak ada komentar:
Posting Komentar