Sabtu, 15 April 2017

DAKWAH PADA ORANG TUA

DAKWAH KEPADA ORANG TUA


dakwah dilakukan untuk semua kalangan. dan sasaran mad'u nantinya bermacam-macam. sebagai seorang da'i harus mampu memahami kondisi mad'u yang beraneka ragam. salah satu ma'u terdekat kita yang harus kita perhatikan adalah orang tua kita. sebelum menda'wai orang lain, terlebih dahulu harus menda'wai diri sendiri dan keluarga kita. bagaimana cara berdakwah kepada orang tua, dapat dilihat disini. semoga bermanfaat :)
salam komunikasi !!!

REPORTASE

BAB I
PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang
Sebagian besar orang mengatakan bahwa reportase bukanlah sebuah berita karena bukan merupakan suatu peristiwa , kejadian atau kenyataan yang baru, melainkan laporan suatu keadaan atau laporan perkembangan suatu kejadian. Reportase lebih cenderung seperti kelanjutan berita, atau seperti apa yang disebut laporan tindak lanjut. Reportase biasanya disebut juga dengan current affairs news.[1] Jadi, dapat disimpulkan bahwa reportase adalah suatu laporan mengenai keterangan lanjutan atas suatu kejadian yang sudah banyak diketahui secara luas. Menurut Djawoto, dalam bukunya Djurnais dalam praktek (1959), keterangan lanjutan sangat dibutuhkan dan penting dikeahui oleh khalayak luas. Biasanya menjadi bagian dari berita yang sangat dinantikan. Misalnya perkembagan berita lanjutan tenggelamnya KMP Senopati, hilangnya pesawat terbang Adam Air atau terbakarnya Lavina I di leas pantai kepulauan seribu Jakarta, pasti menjadi berita yang banyak ditunggu-tunggu oleh banyak kalangan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari reportase ?
2.      Keterampilan apa saja yang diperlukan dalam menulis reportase ?
3.      Apa pengertian dari Reportase Investigatif  ?

C.    Tujuan dan Manfaat
1.      Untuk mengetahui tentang reportase.
2.      Untuk mengetahui tentang ketrampilan yang diperlukan dalam menulis reportase.
3.      Untuk mengetahui tentang Reportase Investigatif.

BAB II
PEMBAHASAN


A.    Reportase
Reportase (report) adalah suatu laporan mengenai keterangan lanjutan atas suatu kejadian yang sudah anyak diketahui secara luas. Menurut Djawoto dalam bukunya Djurnalistik dalam Praktek (1959), keterangan lanjutan (talking point) sangat diperlukan dan penting untuk diketahui oleh khalayak luas. Reportase juga bisa disebut sebagai berita. Dalam dunia jurnalistik elektronik (radio dan televisi) juga dikenal sebutan berita current affairs. Berita ini biasanya didapat dengan merekan keterangan-keterangan dari berbagai narasumber mengenai sutu kejadian.
Namun, berita baru layak disebut berita bila dilaporkan. Dalam pernyataan ini, sebagian orang mengatakan bahwa “berita itu adalah laporan” (news report). Dengan kata lain, berita adalah laporan suatu peristiwa yang baru saja terjadi dan masuk dalam syarat beriyta yaitu timeliness. Dari sudut pandang ini, reportase dilihat sebagai sesuatu yang bukan berita. Tidak selamanya report berarti berita.
Berdasarkan pemahan tersebut reportase diratikan sebagai laporan atas sesuatu yang lebih luas dari sekedar berita. Selain mengenai berita, reportase juga melaporkan latar belakang, kesimpulan, berbagai penjelasan, dan juga bahkan dapat pendapat mengenai suatu kejadian lama yang pernah diberitakan, ketertarikan fakta, perkiraan atau spekulasi, dan masa depan kejadian. Singkat kata, laporannya mengandung interpretasi dan dalam penafsiran.

B.     Beberapa ketrampilan yang diperlukan dalam menulis reportase
1.      Tidak lepas kontrol
Wartawan membutuhkan kontrol diri yang kuat serta memahami betul kode etik wartawan dan jurnalisme. Jika tidak demikian, dia dapat terjerumus ke dalam laporan yang bersifat subjektif, sepihak, melanggar aturan dan bisa melahirkan kontroversi baru. Ingatlah dalam istilah jurnalistik menganut istilahfact is sacred. Mochtar Lubis berkata, “Seorang wartawan yang baik dalam memberitakan tafsirannya sebanyak mungkin mengikat dirinya pada fakta dan tidak menyatakan perasaannya sendiri.”
2.      Kontinuitas berita
Apabila suatu peristiwa besar terjadi, laporan-laporan mengenai kejadian itu bisa berbulan-bulan menghiasi media massa, baik media cetak maupun media elektronik. Laporan wartawan mengenai tindak lanjut suatu peristiwa dari berbagai aspek atau sudut pandang dapat menghiasi aneka berita laporan. Ejadian yang memiliki potensi untuk menghasilkan berita tindak lanjut atau berita yang memberi banyak keterangan lebih lanjut dapat disebut sebagai kontuinitas berita.. setiap berita memiliki masa depannya sendiri, masing-masing berita mengandung kontuinitas.
3.      Tidak selalu kejadian baru
Reportase yang penulisannya berdasarkan fakta-fakta umumnya tidak terlalu terikat dengan persyaratan penulisan berita. Terutama dari segi elemen kebaruannya, reportase bukalah suatu peristiwa yang baru terjadi. Aktualitas, objektifitas dan formula 5W+1H banyak diabaikan. Susunannya juga berbeda dengan struktur penulisan berita seperti dalam gaya piramida terbalik.
Reportase mengenai ketaragan lanjutan dari sebuah berita atau curent affairs newa dapat diperalam lagi denngan penemuan fakta-fakta baru dengan  menggalinya melalui berbagai cara penyelidikan atau yang disebut dengan investigasi. Sebutan untuk reportase seperti ini biasanya beragam, sebagian menyebutnya dengan dept reporting dan sebagian lagi menyebutnya dengan interpretative reporting, investigative reporting atau comprehensive reporting.[2] Perbedaan dari semua penyebutan ini adalah cara meandang persoalannya saja.

C.      Reportase Investigatif
1.    Definisi Jurnalisme Investigatif menurut Weinberg
Setiap wartawan adalah wartawan investigatif. Tetapi kenyataanya memang tidak demikian. Sebagaian wartawan hanya menjadi media penyalur berita-berita resmi. Mereka menghadiri jumpa pers menteri- menteri cabinet, menghadiri rapat-rapat dewan perwakilan rakyatpusat maupun daerah, mencatat atau merekam pertemuan-pertemuan, lalu menulis beritanya.
Wartawan seperti itu bukanlah wartawan investigasi karena: mereka hanya mengikuti agenda orang lain; mereka tidak menangkap apa yang terjadi dalam kegiatan pribadi diantara para anggota dewan tadi, para staf, dan kelompok-kelompok kepentingan lainya; dan dalam hal di pemerintahan daerah, mereka tidak memeriksa arsip-arsip tentang tanah, kontrak-kontrak perjanjian atau dokumen-dokumen yang berpotensi menyikapi hal-hal yang menyimpang. Mereka lebih banyak bertindak sebagai pencatat dari pada sebagai wartawan yang penuh rangsangan ingin tahu atau skeptis.
Jadi tepatkah jika kita menginginkan agar semua wartawan adalah wartawan investigative ? sudah tentu tidak. Jika semua wartawan adalah wartawan investigative, siapa yang kan memberitakan apakah haraga bahan bakar minyak tahun ini naik atau tidak, siapa yang akan menulis features pagelaran Inul Daratista di Bandung, di Semarang atau di Medan. Siapa yang kan menulis bagaiamana sampai jumlah kaum wanita di Indonesia lebih banyak dari pada kaum pria.
Jadi tidak semua wartawan harus menjadi wartawan investigative, tatapi seorang wartawan memang dapat untuk menjadi wartawan investigative.yang diperlukan adalah rangsangan keingin tahuan yang besar tentang bagaimana dunia ini bekerja, atau gagal dalam melaksanakan pekerjaanya. Rasangan keingin tahuan seperti itu di barengi dengan skeptisme, dengan disertai kemarahan yang tak henti-henti yanag dinyatakan dalam upaya membuat senang orang yang menderita dan membuat menderita orang yang senang. Sifat seperti itu mengarah pada pembongkaran atau penyimpangan, bukan karena faktor keberuntungan, melainkan karena “peluang lebih menyukai pikiran yang siap.” Tidak ada yang namanya wartawan malas yang beruntung. Jika sifat-sifat baik terdapat dalam diri seorang wartawan, yang lain-lainya dapat diajarkan.
Adakah definisi untuk “jurnalisme investigative” ini ? Steve Weinberg memberikan definisi bahwa yang disebut reportase investigative adalah: “Reportase, melalui insiatif sendiri dan hasil kerja pribadi, yang penting bagi pembaca, pemirsa dan pemerhati. Dalam banyak hal, subjek yang diberitakan mengingiankan bahwa perkara yang berada dalam penyelidikan tetap tidak tersingkap.
Definisi Weinberg ini hampir sama dengan definisinya Greene Roberts, mantan pemimpin redaksi Newaday di Amerika:
“Ia {reportase investigative} adalah repotase, [terutama] melalui hasil kerja dan inisiatif sendiri, yang artinya penting yang oleh beberapa pribadi atau organisasi ingin tetap dirahasiakan. Tiga unsur dasarnya adalah bahwa investidagi itu merupakan kerja wartawan, bukan laporan investigasi yang dilakukan oleh orang lain; bahwa masalah yang diberitakan melibatkan sesuatu yang sangat penting bagi pembaca atau pemirsa; dan bahwa pihak-pihak lain berusaha menutup-nutupi masalah ini dari publik.”
Dari definisi tersebut jelaslah bahwa para wartawan investigatif tidak mengikuti agenda orang lain. Mereka sendirilah yang memutuskan apa yang bernilai untuk diliput, bukan karena seorang pejabat atau orang lain meminta mereka meliput sesuatu. Mereka akan meliput suatu rapat dewan perwakilan rakyat daerah, misalnya, jika hal itu akan memberikan latar belakanng untuk suatu proyek liputan yang lebih besar. Jika liputan ke dewan itu menghasilkan pemberitaan rutin seperti berita-berita harian biasa, itu adalah kebetulan saja.
2.    Menggali ke Bawah Permukaan
Contoh menggali kebawah kepermukaan atau menyingkap penyimpangan yang ditutup-tutupi dapat anda simak dari cerita Edward Jay Friedlander tetang dua reporter harian Times, Tom dan Susan, yang telah bekerja disana selama dua tahun. Beat  atau wilayah liputan Tom adalah balai kota dan Susan meliput kantor polisi.  Lalu pada suatu hari Selasa, sebuah jumpa pers menjadi batu ujian yang tidak diduga-duga bagi ketrampilan Tom dan Susan sebagai reporter-reporter profesional.
Dalam jumpa pers itu, walikota yang didampingi kepala polisi setempat mengumumkan pembelian enam mobil patroli yang baru. Tom mencatat pula apa yang dikatakan walikota tantang jumlah kilometer yang telah ditempuh oleh mobil-mobil patroli lama, yakni masing-masing telah mencapai lebih dari 100.000 mil.
Tom sangat bangga ketika tulisanya muncul dihalam depan harian Times pada keesokan harinya, tetapi kebanggaan itu pupus dengan munculnya Susan yang menghampiri meja Tom di ruang redaksi Times. Ternyata Susan membawa berita yang sangat mengejutkan Tom.
Berita yang di sampaikan Susan itu begini: Ketika Tom sedang asyik menulis berita jumpa pers di balaikota itu, Susan asyik memeriksa mobil-mobil patroli lama di halaman belakang kantor polisi. Ternyata tidak sebuah pun di antara enam mobil patroli yang lama itu menunjukkan odometer lebih dari 65.000 mil. Bahkan tiga orang polisi yang ditelepon Susan mengatakan bahwa model mobil-mobil lama lebih nyaman dipakainya dan masih mampu lari dengan baik. Mereka juga merasa heran mengapa diperlukan mobil-mobil baru, terutama dengan mesin-mesinnya yang besar itu dan dengan tempat duduknya dari vinil biru yang jelek. Hal ini diceritakan oleh Susan kepada Tom.
Tom yang sudah terkejut ketika pertama kali mendengar cerita Susan tadi semakin terkejut lagi ketika mendengar bahwa keenam mobil baru itu dibeli dari Felix Larson, seorang dealer   mobil yang bukan lain adalah keponakan walikota. Dan menurut Susan, penawaran Larson bahkan bukan yang terendah dari kelima penawaran lainya. Demikian pula dalam kopi spesifikasi-spesifikasi penawarannya jelas ditulis bahwa spesifikasi-spesifikasi tersebut hanya untuk satu tipe mobil khusus saja dan yang memenuhuhi spesifikasi teknisnya adalah mobil-mobil Larson.  
Reporter yang ingin menjadi wartawan investivigasi sebaiknya mencontoh pendekatan yang dilakukan Susan tersebut dalam upayannya mengorek kebenaran tersebut. Objek reportase investivigatif bedanya dengan definisi reportase yang baik dimanapun, yaitu: ajukan pertanyaan sebanyak-banyaknya, fokus kan energi dan kreatifitas pada upaya mencari kebenaran penuh dalam  masalah apapun dan jangan mau diberi jawaban tidak.
3.    Memilih Sasaran untuk Investigasi
Sebelum beroprasi, wartawan investigasi harus memilih dahulu apa sasaran invetigasinya. Beberapa sasaran selalu pantas untuk di selidiki, termasuk korupsi di pemerintahan, tempat-tempat kerja yang tidak aman, kualitas pendidikan, konstruksi bangunan ( jembatan, gedung umum, jalan, bandungan) yang tidak mewadahi, ongkos perwatan medis, untuk menyebut beberapa saja. Yang lainya berkaitan dengan kepintingan umum. Seperti inefisiensi di suatu BUMN (misal nya pertamina) yang tersembunyi yang ada subsidi dari pemerintah untuk bahan bakar minyak, lalu inefisiensi di perusahaan listri negara dan telkom yang mendorong kenaikkan listrik dan telepon setiap tahunnya.
Bagaimana wartawan invetigasin memulai kerjanya? Petunjuk mungkin datang dari narasumber lama, atau dari orang asing. Di waktu yang lain berita yang ditulis berdasarkan penugasan biasa atau berdasarkan beat  regular memerlukan penggalian lebih dalam. Sayangnya, kebanyakan reporter beat  tidak pernah mencoba membuat proyek investigasi karena mereka menjadi terbiasa menerima versi resmi dari narasumber-narasumber yang tidak ingin mereka jauhi.
Tetapi sebenarnya tidak perlu demikian. Repotase harian merupakan tumpukan-tumpukan gagasan untuk suatu proyek investigasi. Ini di buktikan oleh Bob Woodward, si pembongkar kasus Watergate. Ia memulai langkahnya di surat kabar mingguan di pinggiran kota Washington, D.C. Dengan menggunkan penugasan “rutin” untuk memulai membangun proyek invetigasinya, ia meratas jalan ke Washington Post.  Di sana ia menggabungkan gagasan-gagasan dari beat nya dengan kegemarannya untuk menggali berita. Leonard Downie dalam bukunya The New Muckrakers  memamparkan bagaimana Woodward “menugasan dirinya” untuk membongkar “skandal-skandal kecil sampai menengah” seperti supermarket yang menjual daging berlemak dan optik-optik yang menyalurkan obat-obatan kadaluarsa dan menerima resep-resep dokter yang tidak berlebel. Pemberitaan-pemberitaan ini meyiapkan Woodward untuk membongkar kasus besar Wategate, yang tampaknya tidak lebih dari pendobrakan masuk gedung secara kecil-kecilan pada awalnya.
Satu-satunya cara bagi para wartawan untuk merasakan apakah mereka memiliki temperamen dan bakat untuk investigasi adalah memang dengan mencobanya.
4.    Memulai Investigasi
Yang sering terjadi, investigasi dimulai dengan datang nya panggilan telepon dari seseorang yang memberikan petunjuk tentang adanya suatu kejanggalan di suatu instansi atau institusi atau di suau tempat.
Tetapi, jarang sekali ada petunuk semacam itu kepada redaksi di surat kabar tanah air yang lantas di tindak lanjuti, sehingga pers dinegeri ini merupakan salah satu yang meskin dalam suatu pemberitaan hasil liputan investigatif. Sudah tentu, untuk menculnya reportase investigatif  merupakan hal yang penting bagi pers. Sebabnya adalah, tanpa adanya kemauan untuk mencurahlan waktu dan tenaga yang diperlukan guna menindak lanjutin suatu tentang adanya penyimoangan atau “terciumnya” suatu yang terasa janggal, maka jangan berharap ada investigasi. Investigasi jurnalisyik membutuhkan pengorbanan waktu dan tenaga, karena untuk mencari keterangan diperlukan upaya menyai orang-orang, upaya mencari bukti-bukti rekaman, dan upaya menyingkap rahasi dari dokumen-dokumen. Dengan kata lain melakukan prinsip yang selalu dijunjung tinggi dalam kerja jurnalistik yaitu check and richeck. Kerja jurnalisme terbaik, yakni menggabungkan beragam informasi untk diolah menjadi sebuah laporan lengakap dalam bentuk laporan reportase investigatif.
5.    Narasumber yang Tidak Bersahabat
Reportase investigatif merupakan kerja jurnalistik yang paling beresiko. Pihak-pihak yang menjadi sasaran investigasi seringkali melakukan tindakan yang tidak terpuji terhadap media dan wartawan media yang bersangkutan. Misalnya dengan melakukan kampanye penulisan dalam surat-surat pembaca, menyerang nama baik dan kredibilitasi wartawan, bahkan sampai mengancam atau menganiaya wartawanya. Yang palinh umum dilakukan adalah mengadukan pihak media dan wartawannya ke pengadilan dengan tuduhan mencemarkan nama baik dan bahkan melakukan pemboikotan terhadap media tersebut. Diantara media yang sering menerima perlaukuan seprti itu adalah majalh tempo, karena majalag inilah yang sering melakukan praktik jurnalisme investigatif yang penuh dengan resiko. Wartawan yang melakukan jurrnalisme harus siap-siap menerima resiko seperti yang diatas. Inilah tantangan bagi para wartawan yang benar-benar ingin menegakkan integeritas profesinya.
Oleh karena itu, tujuan dari jurnalisme infestigatif itu adalah demi kebaikan publik, termasuk pihak yang menjadi sasaran infestigatif maka wartwan harus tetap melaksanakan kewajiban untuk bersikap adil, tidaklah dibenarkan menulis reportase menuduh seseorang melakukan penyimpangan tanpa memberi kesempatan pada yang bersangkutan untuk menjelaskan atau menolak atau menaggapi tuduhan tersebut. Artinya wartawan harus menghubungi orang yang dituduh sekalipun sikap tidak bersahabat. Inilah tindakan dalam kode etik jurnalistik disebut sebagai prinsip cover bothside meliout semua pihak yang terlibat.
Tidak mudah untuk mewawancarai narasumber yang tidak bersahabat bahkan bermusuhan. Ada beberapa teknik yang dapat mengurangi kesulitan anda dalam menemui narasumber yang tidak bersahabat:
·         Usahakan menemuninya ditempat netral, lebih ditempat umum seperti restoran atau kantin.
·         Yakinkan kepadanya bahwa anda ingin memperoleh keterangan dari versi dia.
·         Beritahu narasumber bahwa anggapan apa pun yang sebelumnya tentang dia sebagai liputan sebelumnya bisa jadi berubah dengan mendengar keterangan baru dari pihak dia.
·         Mulai lah wawancara dengan mengumpulkan informasi latar belakang yang akan membuat narasumber merasa nyaman.
·         Selalulah bersikap kreatif dalam mendapatkan tanggapan yang berarti atas “ tuduhan” yang di kemukakan kepadanya.
Cara yang disebut terakhir itu penting bagi wartawan karena dengan cara itu berarti anda sudah melakukan kewajiban yang diharuskan kode etik jurnalistik untuk memberikan kesempatan kepada narasumber yang dituduh dalam upaya membela diri. Selain itu perlu dicatat bahwa setiap orang yang diwawancarai memiliki keterangan dari sudut pandang yang berbeda.  
6.    Membuat hipotesis
Reportase Investigatif terbaik mempunyai persamaan dengan tradisi ilmiah yang terbaik dengan merumuskan lebih dahulu hepotesis-hipotesis, mengumpulkan bahan terkait untuk melihat apa yang pernah diterbitkan mengenai hal serupa, kemudian melakukan wawancara-wawancara dan menelusuri dokumen-dokumen ( tahap eksperimen). Hal-hal negatif dan positif dalam hipotesis-hipotesis ditimbang, konklusi-konklusi diambil tentang bukti-bukti yang membenarkan, lalu hasil investigasi pun diterbitkan berupa reportase.
Hepotesis merupak teknik berfikir yang paling penting dalam melakukan investigasi. Fungsi hipotesis yang penting adalah membantu melihat makna dari suatu objek atau peritiwa. Hipotesis-hipotesis harus digunakan sebagai alat untuk menyikap fakta-fakta baru dan bukan sebagai tujuan.
Menurut kamus Webster hipotesis adalah perkiraan, anggapan, postulat “ atau bisa juga” dalil yang dikemukakan sebagai landasan untuk penalaran atau bisa juga dugaan yang dirumuskan dari bukti data yang dikemukakan sebagai penjelasan sementara tentang suatu kejadian, seperti dalam ilmu pengetahuan, untuk membangun landasan guna penelitian lebih lanjut.
Ada dua hal mengapa hipotesis penting ?
Pertama, hipotesis masih merukana cara terbaik untuk mencari thu apa yang terjadi. Kedua, sebuah reportase investigatif dimulai dan diakhiri dengan suatu anggapan. Dengan perkataan lai, investigasi yang baik dimulai dari sebuah premise, sebuah hipotesis, sebuah anggapan, sebuah dugaan, atau petunjuk bahwa sesuatu itu salah dan harus di periksa. Kita hanya membodohi diri sendiri jika mengatakan bahwa kita tidak mempunyai prasangka atau dugaan, atau lebih parah lagi, bahwa berita kita netral. Tidak ada berita yang netral. Wartawan melakukan investigasi dalam kerja jurnalistik untuk menyelidiki sesuatu yang sudah diduga. Wartawan menulis laporan, lebih jauh untuk menjelaskan apa itu artinya. Cara ini sama baiknya dengan cara yang dilakukan ilmu pengetahuan dan ini merupakan jurnalisme yang baik dan tidak perlu malu-malu melakukannya.
7.    Teks Sekali Lagi
Alat bantu yang berguna untuk emncapai pemahaman yang jernih tentang suatu masalah adalah  dengan menulis reportase tentang semua informasi yang didapat. Ini sangat membantu ketika seseorang memulai melakukan investigasi, ketika ia menghadapai kesulitan, atau ketika investigasinya mendekati penyelesaian. Juga berguna sejak awal investigasi untuk memperjelas pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya sedang dicari. Menyatakan masalahnya dengan persis kadang-kadang membawa orang ke perjalanan panjang menuju solusi. Demikian dinyatakan oleh W. I. B. Beveridge dalam The Art of  Scientific Investigation.
Kesalahan umum yang sering terjadi dilakukan adalah menulis dengan menunggu dulu sampai proyek investigasi selesai dilakukan.  Tetapi, orang lupa bahwa dalam penulisan itulah seringkali ditemukan apa yang terlewat dan apa yang sudah diselesaikan. Menulis adalah hal yang paling utama dalam jurnalisme dan menunggu sampai akhir baru menulis selalu dianggap merupakan kesalahan.
Lebih-lebih, tulisan buram yang dibuat dari awal merupakan alat yang baik untuk melihat apakah yang kita pikirkan itu penting dan apakah cara kita menuliskannya masuk ke dalam benak pembaca. Oleh karena itu sekali lagi, tulis, tulis, tulis! [3]





BAB III
PENUTUPAN



A.    Kesimpulan
Reportase (report) adalah suatu laporan mengenai keterangan lanjutan atas suatu kejadian yang sudah anyak diketahui secara luas. Berdasarkan pemahan tersebut reportase diratikan sebagai laporan atas sesuatu yang lebih luas dari sekedar berita. Selain mengenai berita, reportase juga melaporkan latar belakang, kesimpulan, berbagai penjelasan, dan juga bahkan dapat pendapat mengenai suatu kejadian lama yang pernah diberitakan, ketertarikan fakta, perkiraan atau spekulasi, dan masa depan kejadian. Singkat kata, laporannya mengandung interpretasi dan dalam penafsiran.
Ketrampilan yang diperlukan untuk menulis reportase yaitu tidak lepas kontrol, kontitunitas berita, tidak selalu kejadian baru. Cara menulis reportase investigasif yaitu menggali kebawah kepermukaan, memilih sasaran untuk investigasi, memulai investigasi, menemui narasumber yang tidak bersahabat, membuat hipotesis, tulis.


B.     Saran
Makalah ini disusun untuk sekedar dijadikan sebagai bahan penambah wawasan. Mungkin hanya  ini yang dapat dibahas dari makalah ini. Apabila masih ada kurangnya silahkan membaca buku penunjang lainnya yang berkaitan dengan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA

Sedia Willing Barus, 2010. Jurnalistik Petunjuk Teknis Menulis Berita,Jakarta:PT Gelora Aksama
Muhammad Budyatna, 2006. Jurnalistik, Teori&Praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya










[1] Sedia Willing Barus, Jurnalistik Petunjuk Teknis Menulis Berita, (Jakarta:PT Gelora Aksama, 2010), hlm. 95.
[2]Ibid, hlm 104.
[3] Muhammad Budyatna, Jurnalistik, Teori&Praktik, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya 2006), hlm, 257.


Untuk materi lebih singkat bisa check disini

MEDIA DAN SOSIAL

BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Kajian sosiologi Komunikasi adalah perspektif yang sudah cukup lama, namun baru akhir-akhir ini dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir Indonesia menjadi perhatian serius karena begitu besar desakan yang melahirkan berbagai media massa serta booming tekhnologi komunikasi yang begitu dahsyat.[1] Karena memang di Indonesia sendiri tekhnologi komunikasi sedang berkembang dengan pesat. Maka dalam memenuhi permintaan pasar terhadap media massa banyak sekali pengusaha media massa untuk kepentingan politik maupun pemenuhan sebuah komunikassi massa di Indonesia.
Dalam melahirkan banyak media massa, komunikassi sendiri banyak meminjam ilmu lain dalam mengembangkan keilmuannya sendiri. Seperti yang kita bahas ini adalah ilmu komunikasi meminjam ilmu sosiologi karena untuk mempermudah dalam memenuhi kebutuhan sosial ilmu komunikasi itu sendiri. Dengan mempelajari ilmu sosiologi terlebuh dahulu akan mempermudah kita dalam mengetahui dampak, efek, perubahan dan keinginan masyarakat terhadap media massa yang disalurkan melalui komunikasi massa.
Persoalan-persoalan penting dalam sosiologi komunikasi berhubungan dengan substansi interaksi orang-orang dalam masyarakat, termasuk konten interaksi (komunikasi) yang dilakukan secara langsung maupun dengan mengguanakn media komunikasi, serta semua konskuensi yang terjadi dari seluruh proses komunikasi tersebut.[2]
Dalam memecahkan masalah-masalah interaksi khususnya interaksi yang menggunakan media massa perlu teori-teori maupun ilmu yang sudah lahir sebelumnya. Yakni ilmu sosiologi dan ilmu komunikasi. Berinteraksi didalam media massa pasti akan menimbulkan sebuah efek perubahan di dalam masyarakat, efek perubahan itu saling berkaitan dengan saluran komunikasi massa, media massa dan audiance. Yang akan kita bahas dalam makalah ini deng rumusan masalah sebagai berikut.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana keterkaitan komunikassi massa?
2.      Apa saja efek-efek dan hasil dari komunikasi massa?
3.      Apa saja teori komunikasi massa?
4.      Bagaimana pengaruh komunikasi massa terhadap audiance?

C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Mengetahui keterkaitan komunikasi massa.
2.      Mengetahui efek-efek dan hasil dari komunikasi massa.
3.      Mengetahui teori-teori komunikasi massa.
4.      Mengetahui pengaruh komunikasi massa terhadap audiance.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Keterkaitan Komunikasi Massa
            Komunikasi massa telah merubah ciri interaksi sosial dan bentuk pengalaman masyarakat modern. Ahli teori komunikasi media, Harold Innis dan Marshall McLuhan, berpendapat bahwa media teknik yang berbeda dapat membantu menciptakan lingkungan aksi dan interaksi yang berbeda pula. Menurut mereka, bentuk dari media terlepas dari isi spesifik pesan yang dibawa  dan memiliki dampak terhadap kehidupan sosial. Mereka telah menyoroti kenyataan bahwa interaksi sosial dapat dipengaruhi oleh setiap bentuk transmisi media.
            Kini kita hidup di tengah masyarakat dimana bentuk-bentuk penyebaran simbol-simbol dapat dengan menggunakan media elektronik telah menjadi hal yang lazim dan menjadi model transmisi budaya. Kebudayaan modern pada tingkatan lebih tinggi adalah kebudayaan adalah sebuah kebudayaan yang dimediasi secara elektronik dan model-model transmisi secara oral, tulisan maupun media eletronik. [3] Beberapa cara peyebaran media teknik yang berelasi dengan kehidupan publik dan privat adalah sebagai berikut:[4]
1.      Interaksi Melampaui Ruang Dan Waktu
      Media teknik memungkinkan melalukan interaksi dengan orang lain melampaui jarak ruang dan waktu, sekalipun sifat informasi yang termediasi secara signifikan berbeda dari jenis interaksi yang berada dalam situasi yang berhadap-hadapan. Kondisi tersebut memungkinkan seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain dalam suatu jarak tertentu dan memperkenalkan penundaan tempo dalam proses komunikasi yang ditentukan oleh waktu yang secara fisik dibutuhkan untuk mengirim surat dari tempat asal ke tempat tujuan.
      Perkembangan media teknik komuikasi massa memiliki konsekuensi lebih lanjut pada pembentukan interaksi sosial dalam ruang dan waktu. Media komuniasi massa meluaskan penyediaan simbol-silmbol dalam ruang dan waktu, hal itu terjadi dalam kondisi yang memungkinkan munculnya jenis interaksi termediasi tertentu antara produsen dan orang yang menerimanya. Karena itu komunikasi massa berbentuk perubahan yang fundamental antara produksi dan resepsi bentuk-bentuk simbol, ia memungkinkan jenis-jenis informasi tertentu melampaui ruang dan waktu yang dapat kita gambarkan dengan kuasa interaksi termediasi. Disebut interaksi karena mencangkup individu yang melakuka komunikai dengan orang lain. Disebut kuasa interaksi karena arus komuniksi tersebut hanya berlangsung satu arah dan respon yang dapat diberikan individu yang menerimanya sangan terbatas.
2.      Tindakan berjarak
      Adanya media teknik memungkinkan individu melakukan komunikasi dengan cara baru dan efektif, dan individu mulai merubah cara komunikasinya untuk menyesuaikan dengan kesempatan yang ditawarkan oleh adanya penyebaran media teknik. Dengan memeperhatikan bagaimna cara-cara kerangka interaksi dirubah oleh adanya penyebaran media teknik komunikasi massa, contah saja hanya pembatan pada media televisi. Bertindak dan berkomunikasi dengan pemeirsa televisi merupakan kegiatan yang umumnya merupakan pengaruh arus balik yang tidak langsung dan terus menerus baik secara oral maupun visual.
      Ketidakmenentuan interaksi ini biasanya diselesaikan dengan beberapa strategi.  Strategi tersebut mengatur dan mengarahkan tindakan dan ucapan indiviu ketika hendak berkomunikasi melalui televisi. Tepatnya bagaimana dan dalam tingkatan apa. Diantaranya sifat suatu program, posisi dan status individu, serta kemungkinan teknis dan kesempatan praktis. Setiap keberadaan media televisi memunculkan sebuah kategori atau beberapa kategori tndakan atau beberapa kategri tindakan yang dapat ditelevisikan.  Artinya dapat dianggap layak untuk ditransmisikan melalui televisi  unruk suatu jarak ruang dan kemungkinan yang lebih luas.
3.      Tindakan merespons orang lain yang berjarak
      Sebagaimana media teknik yang memungkinkan individu bertindak untuk orang lain yang berjarak jauh, demikian juga ia dapat menciptakan kesempatan baru bagi individu untuk merespon orang lain yang berjarak jauh. Dengan perkembangan media massa terutama televisi, sikap dan lingkup tindakan responsif meningkat. Meningkat dalam artian banyak individu yang merespon orang lain yang berjarak. Kini pesan dapat diterima oleh audiens yang terdiri dari jutaan orang, menyebar melewati kesatuan konyeks ruang dan waktu yan berbeda. Individu dapat bertindak dengan cara lain dalam merespon apa yang mereka terima. Dalam komuniksi massa, kuasa interaksi tidak dapat dipantai oleh komunikatornya. Orang yang menerima pesan dari media massa biasanya biassanya mampu meresponn pesan yang diterimanya dengan berbagai cara, dan ketidak leluasaan ketika melakukan tindakan responsif  disebabkan oleh sifat kuasa interaksi termediasi itu sendiri daripada kondisi tempat berlangsungnya proses penerimaan
4.      Pengaturan kegiatan penerimaan masyarakat
      Penyebaran media teknik berdampak pada aksi dan interaksi dalam berbagai hal. Dia membangun konteks yang baru dan dan individu secara rutin terlibat dalam proses penerimaan dan pengambilan pesan media. Aktifitas penerimaan pesan media diatur secara sosial, ruang dan waktu dan aktifitas penerimaan secara komplekssilang meyilang dengan aktifitas sehari-hari.            
B.     Jenis-jenis efek
Keith R. Stamm dan John E. Bowes membagi jenis-jenis efek komunikasi massa yaitu efek primer dan efek sekunder. efek primer meliputi terpaan, perhatian, dan pemahaman. Efek sekunder meliputi perubahan tingkat kognitif (perubahan pengetahuan dan sikap) dan perubahan perilaku (menerima dan memilih).
1.      Efek primer
Untuk memahami efek dari komunikasi massa kita akan memperjelasnya melalui suatu kasus seperti ini. Misalnya anda menelpon teman anda untuk mengajak bermain bulutangkis pada hari jumat sore. “Efek” pertama terjadi jika ada jawaban teman anda lewat telepon, misalnya dengan suara “hallo”. Kemudian, anda harus yakin bahwa teman anda tersebut mendengar suara anda dengan jelas. Lalu anda harus menyampaikanpermintaan anda agar dia dapat mengerti maksud anda. Dan, akhirnya anda menginginkan jawaban seperti ini, “wah dengan senang hati” dari teman tadi. Hasil dari tiga point yang pertama adalah efek primer, sedangkan yang terakhir adalah efek sekunder komunikasi. Bahkan ketika teman anda tersebut menjawab, “maaf, saya sangat sibuk hari ini”. Itupun juga termasuk efek dan bisa dimasukkan dalam efek sekunder karena dalam kasus itu ada perubahan perilaku (memilih untuk tidak mengikuti permintaan anda).
Contoh diatas dapat dijadikan ulasan untuk mrngelompokkan dan memberi batasan mana yang termasuk primer dan mana yang termasuk sekunder.
Ketika sebuah pesan diterima oleh audience dan menyita perhatiannya kadang masih sulit untuk dimengerti. Sebagaimana komunikator dalam komunikasi antarpersona, biasanya ia langsung mengetahui bahwa pesannya tidak bisa di mengerti. Akan tetapi di dalam komunikasi massa sering kali komunikator tidak mengetahui apakah pesannya bisa dimengerti atau tidak. Hal ini disebabkan umpan balik dalam komunikasi massa itu sangat terbatas dan tidak ada cara praktis untuk mengecek apakah pesan yang disiarkan bisa dipahami. Apalagi audiance nya menyebar atau tidak mengumpul (heterogen). Dalam masalah yang seperti ini,sebenarnya komunikator dan komunikasi massa sudah berusaha supaya pesan-pesan yang disampaikan bisa dipahami audiance.
Maka, Formula menarik (readability formula) merupakan sebuah penelitian yang dilakukan untuk mendeteksi apakah pesan-pesan yang disampaikan oleh saluran komunikasi massa dapat dipahami oleh audiance. Formula menarik ini dapat digunakan untuk meramalkan seberapa jauh pemahaman audiance terhadap suatu pesan.
Selain menggunakan formula menarik, biasanya media massa juga menggunakan market research (penelitian pasar) yang bertujuan untuk mengetahui siapa profil pembacanya, rubrik apa yang disenangi dll. Namun, formula ini masih sangat terbatas. Formula ini hanya lebih banyak berurusan dengan masalah pasar, dan dalam formula ini tidak dapat diketahui apa sebaiknya yang harus dipilih agar pesan dapatdipahami dengan lebih baik.
Jadi, terpaan media yang mengenai audiance menjadi salah satu bentuk efek primer. Akan lebih bagus lagi jika audiance tersebut memperhatikan pesan-pesan media massa. Sama seperti kita memperhatikan orang yang sedang berbicara, ketika kita memperhatikan berarti ada efek primer yang terjadi diri kita. Ketika diradio disiarkan tentang kecelakaan beruntun di jalan tol dan kita tertarik untuk mendengarkannya, efek primer juga melekat pada diri kita. Bahkan jika kita memahami apa yang disiarkan media massa itu sama saja semakin kuat efek primer terjadi.
2.      Efek sekunder
Dalam memahami efek sekunder kita akan membahas efek kegunaan dan kepuasan (uses and gratification). Efek ini diyakini lebih menggambarkan secara konkret realitas yang terjadi di masyarakat. Jadi, bisa dikatakan bahwa uses and gratification merupakan efek sekunder komunikasi massa.
Untuk melihat pengaruh dari efek ini, Swanson (1979) berpendapat bahwa ide dasar yang melatarbelakangi efek ini adalah “audiance” aktif di dalam media massa. Tidak seperti efek peluru atau jarum hipodermik (yang mengatakan bahwa audiance pasif). Dalam menikmati media massa audiance akan memilih isi media yang menjadi tujuannya. Tujuan tersebut akan disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhnnya. Jika keinginan sudah terpenuhi melalui saluran komunikasi massa berarti individu mencapai tingkat kepuasannya (Keith R. Stamm dan John E. Bowes, 1990)
Menurut John R. Bitner (1996), fokus utama efek ini adalah tidak hanya bagaimana media mempengaruhi audiance, tetapi juga bagaimana audiance mereaksi pesan-pesan media yang sampai pada dirinya. Faktor interaksi yang terjadi antar individu akan ikut memengaruhi pesan yang diterima. Ini jelas bertolak belakang dengan asumsi efek peluru atau hipodermik.
Studi awal mengenai efek ini dilakukan oleh Herta Herzog hampir 40 tahun yang lalu. Setelah Herzog  melakukan studi pengaruh pendengar dan penonton opera sabun (opera soap), banyak bermunculan studi-studi dengan memakai pendekatan kegunaan dan kepuasan yang mulai marak di kampus-kampus. Salah satu studi yang pernah dilakukan adalah untuk melihat pandangan dan motivasi mahasiswa pada dua wilayah yang berbeda pada sebuah perguruan tinggi. Mahasiswa dikategorikan dalam penonton primer (primary viewers) dan penonton sekunder (secondary viewers). Penonton primer adalah orang yang menonton dengan maksud tertentu dan merencanakan waku dan program tertentu apa yang akan dilihat, sedangkan penonton sekunder adalah orang-orang yang mempunyai aktivitas lain ketika sedang menonton televisi (John R. Bitner, 1996). Dari sini, maka anda akan bisa memastikan anda berada dalam kelompok mana, primary viewers atau secondary viewers. Namun yang jelas saluran televisi telah menyuguhkan program acara yang bisa memuaskan penontonnya.
Masih dalam contoh diatas, bahwa yang menikmati opera sabun sebagai alat hubungan sosial dengan orang lain maka disebut keguanaan sosial, misalnya, mereka mendiskusikan acara yang sama-sama telah mereka lihat.  Dalam kasus lain stamm dan kawan-kawannya (1976) melihat mengapa orang-orang membaca surat kabar. Stamm mengamati tradisi orang-orang membaca surat kabar. Stamm mengamati tradisi orang-orang yang awalnya bukan pelanggan surat kabar kemudian menjadi pelanggan. Seorang pendatang disuatu kompleks perumahan yang awalnya bukan pelanggan akan menjadi pelanggan surat kabar untuk memenuhi kebutuhan sosial dilingkungan yang baru tersebut. Apalagi mereka yang mempunyai sifat individualisme tinggi, semakin tinggi sifat individualisme seseorang, kebutuhan untuk berlangganan surat kabar semakin besar. Alasannya, mereka sudah cukup terpuaskan mengetahui banyak informasi lingkungan yang baru dari surat kabar.
C.    Beberapa Efek Lain dan Hasil
Erat kaitannya dengan konsep aliran pesan adalah studi tentang bagaimana media massa menyebarkan informasi.
Difusi Informasi
Lewat media massa, kita mempelajari inovasi, penemuan, kecelakaan, pembunuhan, revolusi, dan bencana alam. Seberapa lama kita mendengar peristiwa itu setelah kejadiannya dan dari sumber mana merupakan kajian orang-orang yang tertarik pada difusi informasi yaitu, seberapa cepat berita atau informasi yang bergerak dan lewat saluran mana untuk sampai kepada masyarakat penerima. Dalam konteks penyebaran berita utama, yang dikutip oleh Deutschmann dan Danielson dalam bukunya Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss yang berjudul HUMAN COMMUNICATION yaitu,  difusi dilukiskan sebagai proses yang memungkinkan “fakta suatu berita merembes kedalam aliran kehidupan masyarakat, menyebar melalui aliran kehidupan tersebut, mewarnainya, mengubah coraknya, mencapai dan mempengaruhi hampir setiap orang didalamnya.[5]
Terdapat bukti bahwa cara penyebaran informasi akan tergantung pada pentingnya informasi tersebut. Menurut Greenberg yang mengutip dalam bukunya Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss yang berjudul HUMAN COMMUNICATION, bila peristiwa yang diberikan merupakan suatu krisis penting “saluran-saluran antarpesona juga sama pentingnya seperti media massa dalam menyebarkan informasi pertama”. Komunikasi orang ke-orang juga akan berperan penting dalam menyebarkan informasi mengenai peristiwa-peristiwa yang kurang dikenal. Namun, bagi berita-berita yang cukup penting, medi massa akan menjadi sumber pertama informasi yang paling luas.
Seperti yang ditekankan Wright dan pakar-pakar lainnya, adalah penting untuk menganggap peranan komunikasi tatap muka dan peranan komunikasi massa sebagai komplementer daripada saling meniadakan. Kadang-kadang perjumpaan dengan seorang kawan yang mengabarkan suatu berita baru akan mendorong seseorang untuk memantau media massa untuk mengetaui informasi lebih jauh. Atau suatu yang anda ketahui dari suatu media massa akan mendorong anda untuk berdiskusi dengaan seseorang yang kemudian menambah pengetahuan anda mengenai peristiwa tersebut, karena rincian-rincian yang ia berikan ternyata tidak dimuat artikel majalah yang anda baca atau tidak disebutkan ringkasan berita televisi yang anda ikuti. Juga kadang-kadang kita mengalami terpaan komunikasi massa seraya ditemani orang lain, sehingga ada interaksi antara apa yang disampaikan media massa dan kesadaran akan respons pribadi terhadap rangsangan komunikatif tersebut.[6]

Perdebatan antara Kennedy dan Nixon telah terjadi fokus banyak kajian, dan ada konsensus pendapat bahwa terpaan terhadap debatlewat media massa mempunyai sedikit pengaruh terhadap perubahan pilihan awal. Seperti yang ditunjukkan banyak penelitian, ketika para pemirsa ditanya tentang siapa yang “menang”, para pendukung Kennedy cenderung melihat Kennedysebagai pemenang perdebatan, sementara kebanyakan pendukung Nixon melihat Nixon sebagai pemenang. Kita juga melihat contoh-contoh lain seperti dalam perdebatan presidensial.
Sebagai akibat penyaksian perdebatan, sebagian orang lebih mengetahui isu-isu sehingga ada perolehan informasi, namun mereka juga membentuk kesan tentang para kandidat melalui isyarat-isyarat nonverbal mereka. Jadi tampaknya terpaan pendangan lain lewat media massa sering sekedar memperteguh sikap atau opini awal penerima. Banyak kajian tentang perilaku memilih untuk menegaskan kecenderungan ini.[7] 
D.    Belajar Sosial lewat Model Peranan
Dalam mempelajari perilaku baru, tidak selalu perlu bagi kita untuk menanpilkan perilaku dan untuk diperteguh. Kita juga mempelajari respons baru dengan sekedar mengamati respons itupada orang lain. Proses ini disebut pemodelan atau imitasi. Pemodelan berlangsung sepanjang hidup seseorang, namun terutama selama masa formatif kanak-kanak. Lewat media massa, anak-anak mengembangkan gagasan mengenai berbagai pekerjaan, status, dan perolehan materi yang diperoleh orang-orang berdasarkan pekerjaan-pekerjaan mereka.
Media massa juga menyediakan sejumlah model peranan lain, seperti cara pendefinisian peranan wanita oleh sebagian media massa. Tidak perlu lama dduduk di depan televisi untuk melihat wanita mengeluh bahwa kemeja suaminya kotor atau piring-piringnya tidak mengkilat seperti milik tetangga. Kesan umum pemirsa adalah bahwa wanita eksis terutama dalam situasi domestik dan kepedualian mereka berpusat terutama disekitar rumah, suami, dan anak-anak.[8]
Media massa juga bergerak dengan perubahan sosial. Banyak majalah wanita tradisional memuat artikel-artikel mengenai wanita yang memutuskan untuk tidak menikah atau wanita yang mengolah rumah tangga, namun juga meniti tangga karier dan majalah-majalah baru seperti Working Woman dan Working Mother mencerminkan kebutuhan-kebutuhan wanita dalam tahun 1990-an.[9]
Berang kali perubahan yang lebih signifikan daripada perubahan-perubahan tersebut dalam isi media adalah perubahan dalam susunan penjaga gawang komunikasi massa. Data dari FCC menunjukkan bahwa meskipun selama lebih adri lima tahun telah tersedia semakin banyak kesempatan kerja dalam penyiaran bagi kaum wanita dan minoritas, mereka lebih cenderung memperoleh pekerjaan tata usaha yang bergaji lebih rendah.
Dalam suatu penelitian tahun 1990 mengenai kaum wanita dan minoritas sebagai pembuat berita dan koresponden jaringan, jenis-jenis berita dan orang-orang yang mereka liput, Ziegler dan White menemukan bahwa selama 25 tahun terakhir hanya ada sedikit kemajuan tentang bagaimana minoritas dan kaum wanita disajikan.
Meskipun tampaknya ada sedikit kajian mengenai pekerjaan kaum miniritas dalam media massa, ada sejumlah peneliti mengenai pekerjaan kaum wanita. Para peneliti telah membandingkan pria dan wanita dalam bidang penyiaran televisi berdasarkan jenis-jenis pekerjaan, status, dan gaji.
Belajar Sosial dan Kekerasan Media dari usia sekolah menengah, kita melihat peningkatan dalam penggunaan media cetak, dan selama masa remaja, juga meningkatkan dalam penggunaan radio. Namun, selama sepuluh tahun pertama dalam hidup kita, televisi adalah media massa dominan yang menerpa anak-anak Amerika. Karena itu tidak mengherankan bahwa banyak orang mengkhawatirkan pengaruh acara kekerasan televisi terhadap anak-anak.[10]
Sejak awal tahun 1970-an terdapat lebih banyak kekerasan dalam acara-acaara akhir prkan bagi anak-anak daripada dalam acara-acara televisi prime time, dan selama bertahun-tahun kontroversi mengenai pengaruh kekerasan televisi tetap hangat. Abnayak peneliti berpendapat bahwa menonton kekerasan dalam televisi membuat anak-anak lebih agresif, dan sebagian peneliti menganggap kekerasan televisi sebagai sebab kenakalan remaja.
Suatu studi meneliti mengapa anak-anak senang menonton film-film dan acara-acara yang menangkutkan dan menegaskan apa yang dikemukakan para peneliti lain, bahwa ketegangan merupakan suatu unsur penting yang meningkatkan kesenangan. Kita semua mengenal cara-cara penciptaan ketegangan dalam film-film dan acara-acara televisi. Adegan-adegan dibuat lbih tegang, tidak hanya oleh dialig, namun juga oleh music dan simbol-simbol dan efek-efek fisual.
Zaman kita adalah zaman kekerasan. Kita tidak hanya dapat menyalahkan media massa sebagai satu-satunya sumber penyakit-penyakit sosial kita. Kita juga harus ingat bahwa komunikasi massa pada dasarnya adalah suatu ciptaan manusia dan bahwa sebagian dari pengaruhnya yang terpenting adalah tidak langsung dan kumulatif.[11]
Implikasi Teknologi Baru Komunikasi Tidaklah mudah untuk membuat suatu daftar teknologi baru komunikasi dan inovasinya. Kita sekarang mengenal telepon selular, komputer, surat elektronik, satelit videoteks, dan mesin faksimil. Pertukaran dokumen elektronikdan lalu lintas data merevolusikan komunikasi bisnis dengan memindahkan informasi dari satu komputer ke komputer lain melalui saluran telepon. Beberapa ahli memperkirakan bahwa menggunakan kabel fiber optik di rumah akan mempromosikan zaman informasi baru dengan televisi interaktifnya.
Perubahan-perubahan teknologi ini terus meningkat kecepatan komunikasi secara menakjubkan. Selain kecepatan yang lebih besar untuk mengirimkan pesan. Kita juga menyaksikan perubahan-perubahan besar dalam volume informasi yang dikirimkan, dismpan, dan diambil kembali. Williams menjelaskan bahwa teknologi baru dapat dianggap sebagai perluasan media bahwa sementara media berfungsi sebagai perluasan indra-indra dasar dan cara-cara komunikasi kita, media baru biasanya buakan merupakan system tersendiri. Alih-alih, media baru memperluas sistem yang sudah ada.
Meskipun menggunakan komputer pribadi jauh tertinggal oleh penggunaan komputer institusional dan bisnis, perubahan dalam teknologi komputer akan memungkinkan pengguna komputer dirumah akan lebih sering lagi. Melalui faksimil, kiata dapat mengirimkan tidak hanya dokumen tertulis, tetapi juga materi visual seperti grafik, peta, dan foto. Berdasarkan suatu pemikiran, setiap tahun di Amerika Serikat sekitar satu miliar pesan dipertukarkan lewat surat elektronik.[12]
E.     Teori-teori efek
Sejarah empirik komunikasi massa diawali tahun 1930-an dengan munculnya motion picture (gambar bergerak). Sampai saat ini taksiran tentang waktu efek komunikasi massa beragam versi. Namun yang jelas , paling tidak dikenal tiga efek dalam komunikasi massa sejak tahun 1930-an, yakni efek tak terbatas (unlimited effect), efek terbatas (limited effect), dan efek moderat (not so limited effect). Dapat dirinci seperti dibawah:
1930-1950 efek tak terbatas (unlimited effect)
1950-1970 efek terbatas (limited effect)
1970-1980 efek moderat (not-so limited effect)
Dugaan adanya efek komunikasi massa sebenarnya juga beragam, tetapi paling tidak ada sejumlah alasan yang melatarbelakanginya, yaitu:
1.      Jenis efek yang dipelajari telah berubah
2.      Metode pelajaran yang telah berubah
3.      Kondisi yang telah berubah
Sejarah awal studi tentang efek lebih cenderung melihat efek tersebut dari segi sikap dan perilaku.
1.      Efek tidak terbatas (1930-1950)
Efek tidak terbatas ini didasarkan pada teori atau model peluru (bullet) atau jarum hipodermik (hypodermic needle). Jadi media massa diibaratkan peluru. Jika pelurunitu ditembakkan ke sasaran, sasaran tidak akan bisa menghindar. Analogi ini menunjukkan bahwa peluru mempunyai kekuatan yang luar biasa. Hal ini yang mendasari bahwa media massa mempunyai efek yang tidak terbatas. Efek ini didasarinpada asumsi-asumsi sebgai berikut:
a.       Ada hubungan yang langsung antara isi pesan dengan efek yang ditimbulkan.
b.      Penerima pesan tidak mempunyai sumber sosial dan psikologis untuk menolak upaya persuasif yang dilakukan media massa.
Asumsi mengapa efek tidak terbatas ini muncul bisa dikaji dari perspektif psikologi dan sosiologi. Ilmu psikologi memandang bahwa individu merupakan makhluk yang tidak rasional dan dalam perilakunya secara luas dikontrol oleh instingnya. Dan menurut imu sosiologi, masyarakat pasca industri atau yang sering disebut “masyarakat massa” (mass society) dianggap tidak melakukan hubungan antarpersona. Dalam masyarakat itu satu sama lain saling meninggalkan atau saling mengisolasi diri. Akibatnya, individu tersebut mudah terpengaruh oleh efek media massa.
2.      Efek terbatas (1956-1970)
Jhosep Klaper mengemukakan sebuah penelitian yang berbunyi “Ketika media menawarkan isi yang diberitakan ternyata hanya sedikit yang bisa mengubah pandangan dan perilaku audiance”. Dari kesimpulan penelitiannya ini berdasarkan kampanye publik yang berrsifat persuasif ditemukan bahwa media massa memiliki efek terbatas.
Jhosep Klaper juga menunjukkan temuan menarik dalam bukunya yang berjudul “The Effect of Mass Communication”(1960). Di dalamnya di katakan bahwa faktor npsikologis dan sosial juga ikut berpengaruh dalam proses penerimaan pesan dari media massa. Faktor-faktor tersebut antara lain proses seleksi, proses kelompok, norma kelompok dan keberadaan pemimpin opini.
3.      Efek moderat (1970-1980)
Pendapat terakhir aktual tentang efek komunikasi massa adalah “efek moderat”. Dua efek sebelumnya dianggap terlalu berat sebelah.ketika zaman terus berubah dan peran komunikasi massa berkembang pesat dibarengi oleh peningkatan pendidikan masyarakat, efek komunikasi massa pun ikut berubah pula.[13]



BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Dalam sebuah komunikasi massa perlu kita ketahui bahwa yang namanya media massa akan mencari sasaran, yaitu audiance. Tujuan dari media massa adalah membuat audiance tertarik terhadap apa yang disuguhkan oleh media massa tersebut melalui komunikasi massa. Namun dalam komunikasi massa sendiri ada beberapa teori yang harus dilakukan supaya apa yang sudah disuguhkan media massa dapat diterima dandipahami pesannya oleh audience.
Dengan menggunakan teori-teori komunikasi massa, maka akan timbul sebuah efek dari audiance. Dari timbulnya efek audiance terhadap apa yang disuguhkan media massa akan dilihat dengan menggunakan ilmu sosiologi yang mana akan melihat perubahan sosial dan kebutuhan sosial dari informasi yang disuguhkan oleh media massa melalui komunikasi massa tersebut.
Perubahan apa yang terjadi di masyarakat terhadap informasi dari media massa  akan begitu berarti bagi media massa tersebut. Media massa menggunakan saluran komunikasi massa untuk mengetahui hal itu. Jadi antara sosiologi, dan komunikasi massa sangat berkaitan terutama dalam perunbahan perilaku dan perupahan sosial masyarakat atau audiance.



DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2013. Sosiologi Komunikasi. Jakarta; Kencana.
B. Thompson, Jonh. 2015.  Kritik Iddeologi Global.; IRCiSoD
Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta;PT. Raja Grafindo Persada
Tubbs, Stewart L, Moss, Sylvia. Humman Communication. Bandung; Remaja Rosdakarya




[1] Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta, Kencan, 2013), hlm. viii
[2] Ibid, hlm. vii
[3] Jonh B. Thompson, Kritik Iddeologi Global, (Yogyakarta:IRCiSoD, 2015), hlm. 310. 
[4]Ibid, hlm. 311.
[5]Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Humman Communication. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005) , hal. 214
[6]Ibid., hal.216
[7]Ibid., hal.218
[8]Ibid., hal. 219
[9]Ibid., hal. 221
[10]Ibid., hal. 222
[11]Ibid., hal. 223-224
[12]Ibid., hal. 225
[13] Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 205




untuk penjelasan singkat bisa dilihat disini